Bertahun-tahun yang lalu ketika masih menjadi Monster Jackers saya terkesan urakan. Menonton konser band-band beraliran metal selalu di barisan paling depan, seakan-akan ada satu kewajiban tangan mesti memegang pagar pembatas. Rasa-rasanya berteriak paling kencang melantunkan lagu yang bait demi bait dihafali. Terkadang saat kepanasan berganti teriak “air, airrr, airr” dan ketika selang raksasa diacungkan tinggi-tinggi nikmatnya luar biasa karena sebentar lagi tubuh yang kepanasan itu akan digelontor habis-habisan dengan air. Syejuk. Kemudian kembali berjoget ria hingga kalap. Semakin malam semakin kalap. Lupa diri. Dan di penghujung konser pun tak lagi memiliki sisa-sisa tenaga. Tergeletak di lapangan begitu saja sampai pagi. Lemas. Tapi Nikmat.
Beberapa tahun kemudian siapa sangka kesenangan itu berubah total. Telinga yang tadinya dipenuhi dengan hentakan drum, tiba-tiba saja dipenuhi dengan dung-tak dung-tak rebana. Saya diberi kesempatan mengenal Habib Syekh lalu Syekhermania. Kesan pertama yang terpikirkan, oh ternyata dunia sholawat pun tak ketinggalan jaman. Jika ada monster jackers, slankers, kali ini ada syekher. Perkenalan awalpun begitu menggoda. Saking penasarannya saya menyerodok hingga barisan paling depan.
Alamakkk, sayangnya hampir semua lagu yang didendangkan sang Habib malam itu tidak bisa saya dendangkan. Melongo, melotot kedepan ke arah panggung yang persis ada di depan saya. Yang ada dalam jangkauan bukan hanya lagi pagar-pagar seperti di konser dahulu, melainkan sang habib sendiri, yang hanya berjarak dua atau tiga meter di depan saya. Di belakang saya ratusan bahkan mungkin ribuan santri bersholawat bersama-sama. Dalam pandangan saya hampir semuanya kompak dengan baju dan peci putih. Tentu saja menghadirkan perasaan aneh dan terisolasi karena saya menggunakan jaket blontang-blontang. Mungkin sama dengan terisolasinya hati saya selama ini dari sholawat. Tapi rasanya merindiiing. Amat merinding. Entah nuansa apa. Saat itu juga saya jatuh cinta. Sejak saat itu saya tidak ke jogja lagi untuk moshing. Saya mulai rajin mengikuti majelis Habib Syekh dari satu daerah ke daeah lain. Dengan motor grand yang kadang-kadang macet di jalanan. Ya, meski harus diakui. Pergantian genre, dari metal ke sholawat ini tidak sekonyong-konyong langsung merubah seluruh kebiasaan. Tubuh ini kadang reaktif berlebihan ketika bersholawat. Goyang ke kanan dan ke kiri begitu nikmatnya. Tangan di angkat ke atas tinggi-tinggi untuk mengikuti irama lagu. Keringat kecut mengucur kemana-mana.
“Sholawat itu bukan seperti itu. Sholawat bukan seperti nonton konser. Mosok sholawat kok gak ada sopan-sopannya kepada kanjeng Nabi”, sergah sebagian orang.
Aihh, hati ini langsung deg-deg an. Rasanya saya mulai menyukai sholawat tapi tiba-tiba jadi takut mendadak. Rasa-rasanya saya mulai menemukan kedamaian dalam diri karena sholawat, tapi kini terusik hebat. Merasa tidak pantas untuk sekedar menghadiri majelis, apalagi mengklaim diri menyukainya. Aku ini harus bagaimana?
Tapi seseorang mengingatkan saya kata-kata Rumi,
Air berkata kepada yang kotor, “Kemarilah.”
Maka yang kotor akan berkata, “Aku sungguh malu.”
Air berkata, “Bagaimana malumu akan dapat dibersihkan tanpa aku?”
Kata-kata inilah yang membuat saya kembali kuat meski cara bersholawat saya dikritik habis-habisan. Saya harus tetap mencari air untuk membersihkan diri. Bukan sekedar air yang keluar dari moncong selang di konser-konser rock atau dangdut. Sholawat inilah air yang saya yakini akan membersihkan berbagai kotoran di dalam diri. Terkait kritik dan prasangka yang semoat membuat jatuh, coba saya tangguhkan dulu. Berusaha baik memang selalu ada tantangan dan ujian.
Baca Juga: Syekhermania Adalah Kita
Biarlah orang kaget dan mencak-mencak dengan cara bersholawat saya yang edan ini. Tapi saya ndak boleh ikut kagetan. Apalagi menyerah. Saat ini saya memang belum bisa khusuk, berurai air mata, menangis sejadi-jadinya dan menjadikan air mata itu sebagai bukti kecintaan kepada Nabi. Yang saya punya cuma semangat yang mungkin memang berlebihan, karena merasa menemukan hal-hal yang benar-benar berarti dalam kehidupan. Dan bukti kecintaan itu baru bisa mewujud dalam bentuk air yang berbeda, yakni air keringat, yang kecut dan mungkin saja mengganggu banyak orang.