Iqra’! Bacalah! Wahyu pertama yang diterima Kanjeng Nabi Muhammad SAW berisi perintah untuk membaca. Aktivitas yang sangat tidak populer hari ini. Berbagai riset menyatakan bahwa minat baca masyarakat Indonesia sangat rendah. Indonesia menempati ranking ke 62 dari 70 negara berkaitan dengan tingkat literasi. Ya, Indonesia masuk 10 besar, meski dari bawah! Hal ini berdasarkan survei yang dilakukan Program for International Student Assessment (PISA) yang di rilis Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada 2019. Kalau dipikir lebih jauh, inipun masih mendingan. Karena hasil riset yang lain lebih mencengangkan, Wearesocial menyebutkan bahwa orang Indonesia bisa menghabiskan 9 jam perhari untuk bermain gadget. Kebiasaan ini pula yang mendukung Indonesia menjadi negara peringkat ke 5 paling cerewet di dunia. Bahkan, untuk tataran kota, Jakarta menjadi yang paling cerewet dengan jumlah tweet 10 juta perhari, mengungguli Tokyo dan New Work. Sebuah prestasi yang luar biadab, tak mau membaca, banyak bicara. Lantas apa yang dibicarakan?
Kita semua tahu bahwa ‘mendengar’ adalah aktivitas yang sangat sulit. Orang cenderung lebih suka melontarkan pendapat dan pemikirannya, tanpa mau lebih dulu mendengarkan pendapat orang lain. Sebab itu wajar membaca juga sama sulitnya. Dalam tafsir yang lebih luas, Ibn Faris dalam Mu’jam Maqayis al-Lughah menyebut قرأ (qa-ra-a) yang menjadi akar kata اقرأ (iqra’) berarti menghimpun atau mengumpulkan. Suatu aktivitas yang menguras waktu, tenaga dan pikiran. Pasalnya, orang Indonesia sudah memiliki kesimpulannya sendiri terhadap pelbagai persoalan, bahkan jauh sebelum kejadian itu menjadi fakta.
Dibalik itu, bakat nyerocos di media sosial itu entah bisa dipandang dari sisi positif atau tidak. Artinya, masyarakat Indonesia yang suka bicara, suka nge-tweet dan suka nyetatus itu sudah memiliki bekal dasar untuk menulis, menulis dan menulis. Bagian dari budaya luhur yang kita sebut: literasi.
Melihat fenomena ini, maka setidaknya kita bisa membagi umat manusia menjadi 4 kelompok.
Pertama, orang yang suka membaca tapi tidak suka menulis. Manusia jenis ini adalah manusia yang kekurangan jus pepaya. Banyak makan tapi tak mampu buang air besar. Rasanya tidak karu-karuan.
Kedua, orang yang tidak suka membaca tapi suka menulis. Dalam ilmu kesehatan, mencret namanya. Sudah tak diisi, rasa-rasanya pantat masih ingin meletus. Rasanya lebih tidak karu-karuan dari kelompok pertama. Bahkan dilihat dari sudut pandang biologi saja kotoran itu sama sekali tidak bermutu. Tidak sesuai standar WHO.
Ketiga, orang yang tidak suka membaca dan tidak suka menulis. Kalau mau berprasangka baik sedikit, barangkali ia sedang puasa. Tapi sebagaimana puasa, ia lebih kepada kebutuhan dirinya sendiri ketimbang kebutuhan-kebutuhan yang menyangkut maslahat orang banyak. Atau mungkin justru kepada alasan yang lebih sederhana, mager, alias males gerak. Jika begitu maka ia termasuk kaum rebahan yang tidak produktif.
Sedangkan yang keempat, adalah orang yang suka membaca dan suka menulis. Golongan istimewa ini semakin susah dicari. Selain membaca butuh ketekunan, pandai menulis juga tidak menjamin kemapanan ekonomi. Kalau tidak ditunjang karena kesadaran diri dan hobi, golongan ini dipastikan mendekati zaman kepunahan.
Hari ini, 8 September, saya ingin mengucapkan Selamat Hari Literasi Internasional. Untuk siapa? Ya untuk panjenengan semua yang tergolong dalam empat madzhab tadi. Sebab literasi adalah pekerjaan rumah kita bersama. Di hati kecil kita semua, kita sama-sama memimpikan peradaban yang unggul. Itu tak akan terjadi di negara yang budaya literasinya terus mengalami penurunan dari masa ke masa.
– Dyk.
Redaksi wagers.id mengajak Anda menulis secara gratis di platform ini. Mari berbagi kebaikan dengan menulis!