Sowan Gus Muwafiq dan Pesan-Pesan di Dalamnya

Pukul 21.00 WIB kami sampai di kediamannya, di Jombor,  Sleman, Yogyakarta. Beberapa santrinya menyilakan kami menunggu, sambil minum teh hangat dan snack ala Jawa Timuran. “Apa Pak Kiai ada, Mas?” tanyaku. “Sedang ngaji di Krapyak, Mas,” jawab salahsatu santri. “Paling sebentar lagi pulang,” imbuhnya.

Kami menunggu sambil mendengarkan beberapa santri yang sedang bermain gitar. “Jelas sang kiai tahu fatwa Ibnu Hazm atau Yusuf Qardhawi tentang musik,” bisikku dalam hati. Kulihat, wajah Gus Dur dipajang di dinding pojok utara. Sedangkan dinding selatan, adalah foto tuan rumah: Kiai Ahmad Muwaffiq yang sedang berdoa bersama KH. Abdul Aziz Masyhuri (alm), Paculgowang.

Tiga jam kemudian, suara mobil berhenti di depan rumah. Cacak, Cak Afik, Gus Muwafiq atau Kiai Muwafiq turun dari mobilnya. Ia masih tetap sama seperti dulu: memakai kopiah putih, baju putih, dan sarung putih. Rambutnya masih gondrong, dengan beberapa di antaranya sudah memutih jadi uban. “Sudah lama, Fa?” tanyanya. “Sak wektawis, beberapa saat yang lalu, Gus,” jawabku. Kami yang sowan berlima, bersalaman, mencium tangannya.

“Untung kamu datangnya malam ini. Semalam tadi, ada 26 rombongan tamu dengan mobil ke sini,” Cak Afik membuka obrolan.

“Itu dari satu komunitas atau jamaah di daerah tertentu atau darimana, Gus?” tanyaku.

“Ya dari mana-mana, dengan tujuan dan keperluan yang berbeda-beda,” jawabnya.

“Benar-benar 24 jam untuk umat. Lalu sesibuk apakah Kanjeng Nabi kalau seorang kiai saja sudah begini?” bisikku dalam hati.

Sebelum kami menyampaikan maksud dan tujuan, dua rombongan mobil datang bertamu. 

Pertama adalah sebuah keluarga, lengkap dengan anak-anaknya yang masih kecil, sowan dalam-rangka “meminta bantuan” saudaranya di Jakarta yang konon kerasukan jin. Diperlihatkan fotonya, Cak Afik belum bisa “online”. “Kasih saya air sisa cucian tangannya atau potongan rambutnya, dikirim memakai paket dari Jakarta tidak apa-apa,” jawabnya. 

Kedua, rombongan warga NU beserta pengacara. Dari komunikasinya, tampak kelima orang tersebut sudah akrab dengan sang kiai. Meski tetap memakai krama inggil, strata tertinggi dalam bahasa Jawa, mereka tetap bercanda dan slow.

“Lapor Cak, alhamdulillah perkembangan NU di daerah saya meningkat secara signifikan. Semua yang berbau NU disiarkan memakai speaker TOA. Tahlilah disiarkan, manaqiban disiarkan, al-Barzanji disiarkan, manaqiban disiarkan, pengajian disiarkan,” kata salah satu di antaranya menjelaskan. Entah mengapa, kujadi membayangkan zaman raja-raja dulu, di mana secara berkala para adipati melaporkan kemajuan wilayahnya.

Kemudian Cak Afik merespon sampai selesai aduan demi aduan mereka. Setelah itu, ia bercerita dinamika keagamaan umat. 

“Sekarang ini aneh, masa di masjid menguumumkan waktu imsak dibilang bid’ah, sedangkan di Jogakarta kebanyakan menandai maghrib, waktu berbuka puasa dengan sirine bukan bid’ah,” tuturnya. Kami semua para tamu menyimak.

“Tawaran dan ‘jualan’ mereka sebenarnya luar biasa dahsyat: kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Namun mereka lupa bahwa untuk menuju kepada Al-Qur’an dan Sunnah butuh proses panjang lebih dari 14 abad, dari abad 7 masehi. Mereka lupa ada piranti ilmu dan kitab hasil kristalisasi ijtihad para sahabat, tabi’in, tabi’it-tabi’in dan ulama yang juga harus diketahui,” imbuhnya. Sesekali ia merebahkan badan di atas kasur, setelah seharian keliling berdakwah.

“Mana ada negeri yang se-syar’i Indonesia? Yang dalam Pancasila saja warga negaranya disebut ‘rakyat’, dari kata ra’iyah. Konsep rakyat ini konsep Nabi Muhammad SAW, dalam haditsnya yang terkenal: kullukum ra’in wa kullukum mas ulun ‘an ra’iyatihi; kalian semua adalah penggembala dan akan ditanyakan tentang hasil pemggembalaannya. Juga konsep masyarakat, yang dari bahasa Arab: musyarakah, saling bekerja sama, gotong-royong. Bahkan, orang yang tinggal di Indonesia ini minimal telah mengikuti ajaran wali. Terbukti, terirotinya disebut ‘wilayah’, dari bahasa Arab. Ini kehebatan dakwah Wali Songo yang santun dan arif,” tuturnya. Dalam sowan kali ini, kami merasa mendapat banyak curahan pengetahuan.

“Dulu Wali Songo lebih mementingkan isi daripada kulit, berbeda dengan beberapa gerakan Islam hari ini. Bagi yang tidak tahu strategi dakwah, mereka akan menganggapnya bid’ah, sesat dan kafir. Coba lihat fakta sejarah, shalat di Nusantara ini, khususnya Jawa, namanya berubah jadi sembahyang. Kulitnya sembahyang, namun isinya tetap shalat seperti yang diajarkan baginda Nabi. Bahkah, nama Allah berubah di sini menjadi pangeran. Ibarat menaman tumbuhan, bijinya dikubur dalam tanah sehingga hasil pohoh dan buahnya melimpah seperti sekarang. Ini strategi dakwah. Lihat, hasil dari apa yang ‘mereka’ sebut sebagai singkretisasi ini, telah melahirkan banyak ulama, ribuan hafidz Al-Qur’an, qari’ah dan Islam diikuti oleh mayoritas masyarakat Indonesia,” jelasnya panjang lebar.

Bosan Jualan Khilafah

Kemudian saya memberanikan diri menyela, bertanya: “Gus, kenapa Islam di Indonesia ini kok masih meributkan hal remeh-temeh seperti buka warung saat Ramadhan? Dan semangat sekali memperjuangkan bungkus bernama “sistem khilafah” sebagai solusi, serta hal-hal formal-simbolik? Kenapa Islam kita tidak seperti Iran atau Turki yang begitu maju sains dan teknologinya, mereka yang sudah melangkah pada pengayaan uranium nuklir,” imbuhku.

“Kalau mereka orang Iran sudah bosan dan gak pathe’en dengan isu khilafah. Mereka sudah berpengalaman dari dulu, semenjak dihadapkan pada dua pilihan sulit: vis a vis antara Amirul Mu’minin dengan Ummul Mu’minin. Ditambah lagi peristiwa Karbala. Makanya, orang syiah sampai sekarang banyak yang melukai dirinya, untuk mengenang tragedi kemanusiaan itu. Pesannya: jangan sampai peristiwa itu terulang kembali. Untuk itu, dalam perjalanannya, orang Syiah mengembangkan ilmu dan pengetahuan. Turki juga sama, sudah bosan. Nah, di Indonesia ini beberapa kelompok malah semangat memperjuangkan itu. Lihat Afganistan, mereka sekarang malah belajar Islam ke Indonesia, kepada Nahdlatul Ulama. Di sana sudah berdiri puluhan PWNU,” jelasnya. Kami masih menyimak, dengan sesekali mengambil snack suguhan yang sudah dihidangkan.

“Maka, kalian anak-anak IPNU-IPPNU, jangan ikut-ikutan mereka dengan mengutuk-ngutuk bungkus. Bikinlah kreativitas seperti yang telah diajarkan Wali Songo. Jika ada Hari Valentine, kalian jangan mengutuk-ngutuk, mereka semakin laris jualan coklatnya. Bikinlah “Night Valentine” tapi isinya silaturrahim budaya, kongkow, standup santri, pengajian ringan diiringi musik, itu tidak apa-apa. Ini namanya counter culture. Pokoknya kalian yang kreatif. Wali Songo saja bisa mengubah sembahyang isinya shalat, atau pengeran tapi maksudnya Allah, masa kalian tidak bisa membuat acara Valentine Day tapi isinya hal-hal yang konstruktif-religius?” tantang beliau.

Banyak hal yang beliau sampaikan. Sampai akhirnya, “obrolan” dan “ngaji informal” ini menahan kami berlima untuk sahur di ndalem-nya. Sebelum subuh, kami sahur bersama dengan nasi putih, sayur kacang ala santri, telor dadar goreng dan kerupuk yang lezat. Tak ada jarak antara kiai dan santri, bercerita, bercanda dan membahas persoalan besar dengan santai dan sederhana. Usai subuh, kami pamit pulang, membawa banyak hal, sedikit di antaranya tertulis dalam tulisan ini. Sowan kiai, siapa pan itu, khususnya kiai NU, sungguh meneduhkan, dan bahkan banyak mendapat pengetahuan, termasuk makanan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Fill out this field
Fill out this field
Please enter a valid email address.
You need to agree with the terms to proceed

Rekomendasi
Populer This Month
Populer
Direktori