Mas Bejo kemarin ngomel-ngomel sendiri gak karuan. Lantaran dia harus pulang kampung untuk sebuah hal dikatakan wajib baginya, bahkan sangat.
“Ini urusan perut ndes, nek durung vaksin, uripmu bisa nang kosntrakan tok.” ucapnya dengan emosi.
Kok harus pulang kampung? Bukankah di Ibu Kota harusnya vaksin melimpah ruah, kok malah pilih vaksin di kampung?
Tutur Mbak Sisri, istri Mas Bejo. Katanya Mas Bejo memilih pulang kampung karena kalau vaksin disana harus ngantri panjang. Berangkat subuhpun tak menjamin bisa mendapat kuota.
Wah, aku berfikir sejenak. Masyarakat di ibu kota sudah mulai sadar yah, mencapai masyarakat yang herd immunity.
Pikiran saya itu, saya ungkapkan ke Mbak Sisri. “Kalau versi pemerintah, ini baik. Masyarakat sudah mulai berduyun-duyun untuk vaksin.” kataku
“Iyalah baik, dagangane payu. Ngedoli vaksin.” jawabnya sinis.
Ternyata, setelah cerita cukup panjang, dan saya coba mencari informasi dari kawan-kawan yang di Ibu Kota. Bisa disimpulkan bahwa, mereka yang mau vaksin bukan karena kesadaran akan kesehatan, namun karena masalah ekonomi.
Bagi mereka, vaksin adalah pintu pertama menggali pundi-pundi rupiah. Bagaimana tidak, segala aktifitas yang bersinggungan dengan pekerjaan harus sudah vaksin. Mulai dari transportasi, mencari kebutuhan pokok, bahkan di wilayah kerja di sebagian sektorpun harus demikian.
Inilah yang menjadi alasan, masyarakat di Ibu Kota atau bahkan sudah ke daerah-daerah kota besar berbondong-bondong untuk vaksin.
Lalu, apakah ini baik bagi kehidupan bermasyarakat?
Jika dilihat dari sisi kesehatan, selama belum ada teori dan ataupun penemuan baru (kan memang selalu berubah-ubah), masyarakat berbondong-bondong untuk vaksin itu baik. Beberapa pakar kesehatan menyampaikan suatu kelompok/negara sudah vaksin dengan jumlah 80-90% maka akan mencapai Herd Immunity. Pemerintah Indonesia sendiri menargetkan 208juta sekian jiwa akan divaksin.
Namun dari sisi sosial masyarakat, hal ini kurang baik. Coba kita tanyakan hal ini ke beberapa orang kaitan dengan vaksin, sample saja. Atau mari kita dengar dari orang-orang disekitar kita. Apakah program ini diterima baik oleh masyarakat?
Sebagian masyarakat masih menilai bahwa Pemerintah hanya mengejar keuntungan, lagi-lagi kaitan jual beli vaksin (permainan anggaran). Ditambah lagi ketakuatan masyarakat divaksin masih terjadi di sana sini. Banyak berita yang belum jelas kebenarannya tapi menjadi dasar pembenaran mereka menanggapi hal vaksin.
Ujungnya, sebagian masyarakat menjadi sinis kepada Pemerintah. Tidak peduli lagi apa yang Pemerintah programkan, tak peduli lagi apa yang Pemerintah rencanakan, yang penting bisa makan dan hidup, itu saja.
Hal ini tentu tidak baik bagi keberlangsungan kehidupan bermasyarakat. Apa yang dicita-citakan Pemerintah tidak direspon dengan baik oleh rakyatnya. Sehingga tujuan besarnya tidak tercapai.
Ditakutkan, bila ini terus menerus terjadi, masyarakat tidak lagi simpati dengan apa yang dilakukan oleh Pemerintah.
Ada beberapa hal yang mungkin harus diperbaiki, komunikasi dan riset lapangan. Agar apa yang menjadi kebutuhan masyarakat berbanding lurus dengan apa yang diprogramkan Pemerintah.
Pak Ganjar Pranowo beberapa waktu yang lalu membuat gebrakan baru yakni Rembug Desa. Bertujuan ingin mendengar apa yang dibutuhkan warganya. Ini program yang sangat positif. Mendengar keluh kesah warga kaitan Covid-19.
Dengan melibatkan Kepala Desa di setiap Kabupaten, diharapkan Kepala Desa menjadi juru bicara warga di wilayahnya. Walaupun masyarakat bisa memantau dan memberi masukan. Namun peranan Kepala Desa dalam hal ini sangat penting.
Kepala Desa harus dengan lantang menyampaikan kejadian rill di wilayahnya. (Ini kalau Kadesnya tau kondisi masyarakatnya ?) Jangan ada yang ditutup-tutupi. Sehingga apa yang menjadi permasalahan di akar rumput di serap dengan baik oleh Pemerintah. Yang ujungnya ada sinkronisasi, ada ketersambungan antara keinginan Pemerintah dan masyarakat.
_ditulis sambil menikmati sore dengan secangkir kopi_
*Moh. Ali Sukron*
Penikmat jalan-jalan dan sate kambing.