Ditengah hiruk-pikuk sengketa hasil pemilu Presiden-Wakil Presiden serta pemilu legislatif, pembahasan mengenai eksistensi Organisasi Sayap Partai Politik (OSP) menarik untuk dibahas. Berkaca pada pemilu 2019, OSP yang merupakan bagian dari partai politik justru ‘tidak tampak’ berperan dalam mendulang suara bahkan eksistensinya dipersoalkan.
Faktanya, hampir setiap partai politik di Indonesia memiliki OSP, seperti Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI), Kesatuan Organisasi Serbaguna Gotong Royong (Kosgoro), Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR), yang merupakan organisasi sayap partai Golkar. Angkatan Muda Kabah (AMK), Generasi Muda Pembangunan Indonesia (GMPI), Persaudaraan Muslim Seluruh Indonesia, yang menjadi bagian organisasi sayap PPP. PDIP juga memiliki organisasi sayap seperti Baitul Muslimin Indonesia dan Banteng Muda Indonesia (BMI).
Adapun dalam Partai Nasional Demokrat (Nasdem) terdapat Badan Advokasi Hukum (BAHU) NasDem, Gerakan Massa Buruh (Gemuruh), Liga Mahasiswa NasDem, serta Garda Pemuda NasDem. Di Partai Demokrat terdapat Angkatan Muda Demokrat Indonesia (AMDI), Komite Nasional Pemuda Demokrat, Kader Muda Demokrat, serta Barisan Massa Demokrat. Di Partai Gerindra terdapat Barisan Garuda Muda (BGM). Garuda Muda Indonesia, serta Perempuan Indonesia Raya (PIRA). Partai Amanat Nasional (PAN) memiliki Barisan Muda Penegak Amanat Nasional (BM PAN), PAN Muda Untuk Indonesia (Pandu Indonesia), Perempuan Amanat Nasional (PUAN), Penegak Amanat Reformasi Rakyat Indonesia (PARRA Indonesia), dan Garda Muda Nasion.
Permasalahan Hukum
Meski banyaknya OSP merupakan perwujudan dari hak untuk berserikat dan berkumpul sebagaimana dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945), namun terdapat permasalahan yang justru membuat OSP tidak berkembang. Permasalahan dimaksud ialah permasalahan secara hukum dan permasalahan soal ketidakjelasan peran.
Dari sisi hukum, eksistensi OSP mengalami persoalan yang cukup serius. Ada ketidakjelasan mengenai payung hukum yang menaungi eksistensi OSP di Indonesia. Di satu sisi eksistensi OSP mendapat pengakuan secara yuridis di dalam Pasal 12 huruf j UU No. 2/2008 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 2/2011 tentang Partai Politik yang menyatakan: “Partai Politik berhak membentuk dan memiliki organisasi sayap Partai Politik”. Dalam penjelasannya berbunyi, “Organisasi sayap Partai Politik merupakan organisasi yang dibentuk oleh dan/atau menyatakan diri sebagai sayap Partai Politik sesuai dengan AD dan ART masing-masing Partai Politik”. Di sisi lain pengaturan lebih lanjut mengenai OSP tidak ditemukan di dalam UU Partai Politik tersebut, sehingga ketentuan mengenai OSP menginduk pada UU tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas). Tentu saja hal ini menimbulkan ambigu, OSP yang merupakan bagian dari parpol namun pembentukannya mengikuti UU Ormas. Adapun mengenai ketidakjelasan peran, akibat pengaturan yang tidak jelas lalu berimbas pada kiprah serta peran OSP itu sendiri. Pengaturan OSP yang saat ini ada sama sekali tidak memberikan kejelasan mengenai peran OSP dalam parpol, sepertinya misalnya apakah dapat terlibat dalam pengkaderan atau rekrutmen politik.
Perlu Desain
Ke depan, pengaturan OSP harus dirumuskan ulang. Alternatifnya OSP dapat dimasukkan dalam Undang-Undang Partai Politik atau Undang-Undang khusus yang mengatur soal OSP. Pengaturannya sekurang-kurangnya memuat, status badan hukum, pembentukan, peran dan fungsi, pertanggungjawaban, serta pembubaran OSP.
Apabila pengaturannya jelas, maka keberadaan OSP dalam struktur kepartaian dapat mengurangi beban dan tugas-tugas partai. Selain menjadi bagian yang paling dekat dengan konstituen, OSP juga memiliki karakteristik yang fleksibel sehingga mudah dalam membaur pada level grassroot, karena kedekatan tersebut organisasi sayap dapat terus merawat konstituen secara berkesinambungan. Dilihat dari potensi dan eksistensi tersebut, sebenarnya OSP dapat menjalankan fungsi kaderisasi yang paling mendasar dengan cara rekrutmen anggota partai politik yang selama ini menjadi peran partai politik secara langsung.
Kaderisasi dan Rekrutmen
Dengan diberikannya hak kepada OSP tentunya akan terwujud sistem kaderisasi yang mendasar sesuai dengan arah dan visi-misi partai politik melalui edukasi langsung kepada masyarakat. Selain itu, pemberian hak OSP dalam rekrutmen kader parpol juga ditujukan untuk membangun sistem politik yang baik, khususnya di tubuh parpol, bukan hanya untuk mencegah parpol kekurangan kader berkualitas untuk ‘dijagokan’ dalam setiap pemilu, rekrutmen oleh OSP juga akan mewujudkan kader-kader partai yang militan, berkualitas, dan paham akan tujuan partai politik dalam kerangka negara kesatuan
Kehadiran OSP tidak boleh hanya menjadi ‘pemanis’ kelembagaan parpol saja melainkan dapat diberdayakan untuk menjalankan fungsi rekruitmen politik (political recruitment). Bahkan jika OSP memiliki peran rekrutmen, akan membantu parpol ‘induk’ untuk menjalankan fungsinya, yaitu pertama fungsi partai pada pemilih/elektorat dan kedua untuk menunjukkan peran partai politik dalam melakukan pendidikan politik.