Rasisme Sudah Lahir Sejak dalam Pikiran

Akhir-akhir ini konflik yang mengusung isu rasis kembali menguat setelah menyeret salah satu nama daerah yang cantik dengan burung cenderawasihnya, yakni Papua. Kaum mayoritas menggunakan kekuasaan dan keleluasaannya untuk menyebut kaum liyan  menjadi rendah berdasarkan penilaian warna kulit, bentuk rambut atau bahkan tinggi badan. Sejak kapan kita mengimani rasisme jadi hal yang lumrah?

Konflik rasis  muncul sejak manusia pertama Adam mempunyai anak Habil dan Qabil. Penciptaan Iqlima dan Labuda yang memiliki warna kulit berbeda membuat Qabil memandang bahwa kecantikan hanya terletak dari warna kulit. Kulit putih selalu jadi komoditas unggul. Penggambaran kisah Iqlima dan Labuda sejatinya menjadi perumpamaan bahwa penciptaan manusia selalu mengalami perbedaan. Padahal, perbedaaan itulah yang mesti kita rawat sebagai bentuk rahmat Tuhan sehingga kita senantiasa menjadi manusia yang bersikap toleran dan jauh dari sifat sombong.

Keseharian kita saat inipun juga kerap diwarnai dengan iklan-iklan skincare yang mengamini bahwa kulit putih adalah strata tertinggi dalam penilaian kecantikan seseorang. Orang-orang yang lahir dengan kulit gelap berbondong-bondong membeli berbagai macam skincare agar kulitnya tampak memutih. Kadangkala bahkan sampai mencoba berbagai suntik pemutih. Dalam pikiran kita akhirnya terbentuk mindset bahwa cantik sama dengan putih. Lalu, bagaimana dengan saudara kita yang lahir dengan kulit gelap? Apa mereka tidak punya hak untuk menjadi cantik? Apa mereka juga harus memutihkan kulit agar bisa dinilai cantik? Standarisasi kecantikan ini yang membuat rasisme tumbuh sejak dalam pikiran. Melihat perbedaan warna kulit yang mencolok saja pikiran kita langsung menuding. Kalau semenjak dari pikiran sudah rasis, bagaimana kita bisa hidup berdampingan dengan mereka yang berbeda? Apakah semua harus disamakan dengan standar kita? Cantik itu relatif, menurut hemat saya istilah ini tepat untuk menyatakan bahwa standar cantik tidak bisa hanya dibentuk  oleh kelompok atau ras mayoritas. Dulu, Eropa juga pernah melakukan tindak rasis terhadap orang-orang berkulit gelap. Hingga berpuluh-puluh tahun manusia semakin mengenal peradaban dengan manusia lain, apakah benar kita manusia yang beradab jika masih bertindak rasis terhadap warna kulit ?

Dalam sejarah islam Nabi Muhammad SAW saja mengangkat seorang berkulit gelap yakni Bilal bin Ra’bah sebagai muadzin. Dari sikap nabi ini semestinya kita contoh dalam kehidupan sehari-hari. Seseorang tidak dinilai buruk dengan penilaian warna kulit, tinggi badan, atau bahan bentuk rambut. Mata kita terlalu banyak dijejali pemandangan yang harus seragam dalam banyak hal termasuk warna kulit. Padahal Indonesia lahir dengan berbagai suku yang tidak kesemuanya mempunyai warna kulit yang serupa. Jika sejak dalam pikiran kita senang dengan hal-hal seragam, sama. Lalu bagaimana nasib Indonesia ke depan dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika-nya? Tabik!

Rekomendasi
Populer

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Fill out this field
Fill out this field
Please enter a valid email address.
You need to agree with the terms to proceed

Direktori