Layaknya Manusia, Alam Juga Butuh “Istirahat”

Pernahkah kamu ketika mengerjakan Skripsi tiba – tiba merasa tidak enak badan karena berjam – jam bahkan berhari – hari harus fokus pada layar monitor? Perjuangan ekstra yang akan menghantar kita pada baju toga yang akan digunakan di Auditorium nantinya. Sampai lupa makan, lupa minum, lupa bahwa mantan sedang asyik bermesraan di story WA kita? Apalagi ketika kamu memergokinya justeru bermalam mingguan dengan ‘yang lain’. Jadilah lelah kuadrat dan kamu benar-benar butuh yang namanya “Istirahat”. Baik fisik maupun pikiran. Memberi kesempatan pada tubuh untuk  me-refresh diri atau memulihkan kembali tubuh sebelum kembali berperang menuju ruang sidang dan memakai slempang yang bertuliskan “S” dibelakang nama kita.

Sama seperti manusia. Alam juga butuh “Istirahat” ketika ia mulai lelah. Kadang alam menunjukkan bahwa mereka juga butuh ruang dan harus menjaga keseimbangannya. Lalu pertanyaannya adalah, Apa bentuk istirahatnya alam? Apakah dia butuh menikmati sunset ketika sore sambil nulis puisi atau menikmati kopi kayak kamu kalo lagi galau ketika ditanya “kapan lulus”? Tentu beda. Kita bisa belajar dari ‘kode’ terbaru dengan meletusnya Gunung Tangkuban Perahu di Jawa Barat. Bagi saya, keberadaan bencana merupakan salah satu bentuk alam ingin mengistirahatkan dirinya. Alam menyediakan segala kebutuhan makhluq yang ada dibumi. Tak terkecuali manusia. Manusia sangat bergantung kehidupannya pada alam. Sayangnya tanpa sengaja, karena keserakahan yang menjadi-jadi, akhirnya kita justru mengeksploitasi dan menganiaya alam. Tak urung, bencana itu muncul. Bencana bagi saya adalah bentuk alam untuk memulihkan diri agar kembali bisa bermanfaat bagi orang yang berpijak diatasntya.

Disaat yang sama, gunung Api memberikan potensi bahaya tapi kita juga tahu bahwa disekitar gunung api tanahnya sangatlah subur. Tak hanya itu, material yang dimuntahkan oleh gunung api berupa pasir dan batuan akan menjadi ladang rezeki bagi masyarakat disekitarnya. Seperti yang pernah disampaikan oleh Pak Surono Mantan Kepala PVMBG dalam acara “Merapi Tak Pernah Ingkar Janji”.

Belio menceritakan bahwa, “Gunung Merapi itu butuh keseimbangan Baru, keseimbangan Merapi membutuhkan ruang, butuh waktu. Manusia disekitar Merapi Juga butuh ruang, perlu waktu, untuk hidup. Jangan dibenturkan antara Ruang Manusia disekitar Merapi yang butuh hidup dan Merapi pada saat dia butuh ruang ketika ia ingin menepati janji. Disitulah peran Ilmu Pengetahuan dan Teknologi untuk memisahkan benturan”.

Dari statement itu saya belajar bahwa sebenarnya jika manusia benar – benar mengetahui bahwa alam butuh istirahat dan memulihkan diri,  maka tidak akan ada manusia yang selalu mencaci maki dan menyalahkan alam ketika ia butuh Istirahat. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi menjadi alat bantu agar manusia tau kapan alam akan beristirahat. Walaupun hal itu tidak akan pernah bisa 100% menyelamatkan manusia dari dampak pemulihan alam. Namun setidaknya, bisa membantu mengetahui tanda – tanda kapan alam mulai lelah dan manusia bisa mempersiapkan diri untuk menyelamatkan dirinya.

Sebelum teknologi kebencanaan modern muncul, manusia dahulu sudah punya kearifan lokal dalam merawat serta mewaspadai ketika alam mulai lelah. Ketika terjadi Likuifaksi akibat gempa tektonik di Palu, nenek moyang dahulu sudah mengenal istilah “Nalodo”. Daerah yang terdampak Likuifaksi dahulu sebenarnya dikosongkan Karena sangat rawan Nalodo. Namun Karena “Kebutuhan Pemukiman” Akhirnya tempat tersebut ditanami pemukiman. Tak heran ketika gempa 7,4 SR melanda Palu dan Sigi Korban Jiwanya sangat banyak.

Tak hanya itu,  istilah Hutan Larangan dan upaya mengeramatkan pohon – pohon besar oleh orang tua kita dulu juga bisa dimaknai sebagai upaya menjaga keseimbangan alam. Mitos-mitos tersebut berguna untuk menahan hasrat manusia untuk mengeksploitasi alam yang susah dibendung. Misalnya saja, hutan larangan yang biasanya terdapat di lereng gunung acapkali dikeramatkan dan tak boleh dijamah semata-mata agar ekosistemnya tidak dirusak dan bisa menghindarkan dari bencana longsor. Begitupun ketika menebang pohon – pohon besar yang terjadi adalah suhu di sekitarnya akan naik dan akan mematikan mata air mengingat biasanya di dekat pohon – pohon tersebut terdapat sumber mata air. Dan masih banyak kearifan – kearifan lokal yang ada di negeri ini untuk melindungi dirinya dan menjaga alam.

Alam itu pada dasarnya sama seperti kita. Alam sangat sensitif. Sensitif jika kita memperlakukannya dengan semena – mena. Dia juga bisa lelah ketika dirinya terus di eksploitasi.

Sudah menjadi tugas manusia untuk merawat alam agar ia tak mudah lelah.  Mari kita bisa lebih berfikir postitif terhadap alam. Karena ia telah memberikan seluruh kebutuhan manusia diatas maupun didalam diri alam. Seperti apa yang pernah dikatakan Mbah Tedjo dalam Cuitannya “Mari sopan kepada Alam, Mari tak menyebut erupsi gunung, banjir, longsor dll sbg bencana, ituloh cuma cara alam mencapai keseimbangan baru melalui proses fisika – kimia yg logis. Kenapa gak kita sebut Sabda Alam? Kenapa kok secara “Kurangajar” kita sebut bencana?”

Jika kau merasa dirugikan nyawa dan harta benda akibat bencana, apakah alam juga tidak merasakan kerugian yang sama bahkan lebih jika dirinya terus dianiaya dengan mengeksploitasinya? Bencana alam atau Sabda Alam menurut Mbah Tedjo tadi bisa jadi memang adzab. Adzab karena manusia tak tahu cara berterima kasih terhadap semua hal yang telah Tuhan berikan. Salah satunya, melalui makhluqnya yang lain, yakni: alam.

Citizen
, ,
Rekomendasi
Populer

5 Comments. Leave new

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Fill out this field
Fill out this field
Please enter a valid email address.
You need to agree with the terms to proceed

Direktori