Semenjak larangan mudik diberlakukan guna mencegah penularan Covid-19 mulai tanggal 6 – 17 mei dan pemerintah juga memberlakukan aturan tambahan berupa pengetatan perjalananan berlaku mulai tanggal 22 April – 5 Mei. Berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah untuk menghalau pemudik agar mengurungkan niatnya kembali ke kampung halamannya. Mulai dari penyekatan di ruas jalan tol hingga di jalan tikus yang memungkinkan para pemudik akan melintasi jalur tersebut. Namun, bukannya malah mengurungkan niatnya justru para pemudik ini nekat untuk kembali ke kampung halaman untuk berlebaran bersama keluarga. Per 10 Mei 2021 saja, Pemerintah mencatat sudah memaksa 101.097 kendaraan untuk putar balik.
Berbagai akal – akalan pemudik yang nekat pulang kampung yang mereka usahakan. Dari mudik sebelum tanggal di berlakukannya larangan sampai nekat menerobos jalur penjagaan maupun jalur tikus yang masih bisa dilewati. Di berbagai titik seperti di Karawang dan Bekasi, mereka melakukan Konvoi bak supporter bola yang akan menyaksikan tim kesayangannya bertanding. Mereka beramai – ramai memenuhi pos penyekatan hingga Petugas Kewalahan dengan membludaknya Para Pemudik khususnya mereka yang mengendarai motor. Akhirnya petugas membuka penyekatan tersebut dan para pemudik bisa melanjutkan perjalanannya kembali ke tanah dimana ia dilahirkan.
Tak hanya itu, banyak travel gelap yang nekat beroperasi. Tak tanggung – tanggung travel gelap ini mematok tarif lebih tinggi dari harga biasanya. Contohnya Jakarta – Cilacap yang semula harganya 200 ribu bisa naik 300 – 400 ribu. Ya walau beberapa diantara mereka harus ngelus dodo karo ngucap astaghfirullah karena mereka harus terjaring razia dan di jatuhi sanksi atas pelanggaran yang mereka perbuat.
Gelombang mudik yang cukup besar ini akhirnya pemerintah membuat tes acak kepada pemudik di berbagai pos penyekatan mudik. Hasilnya, dari 6742 pemudik 4123 atau 61% diantaranya dinyatakan positif. Angka ini sungguh mengerikan mengingat angka positive rate yang ideal menurut WHO Maksimal 5 %
Sebagai seorang yang juga mengadu nasib di kampung orang, Pelanggaran terhadap pelarangan Mudik Lebaran tahun ini tentu tidak dapat dibenarkan. Karena hal ini memang sebagai upaya Pemerintah dalam memutus mata rantai penyebaran Covid 19. Namun bukan berarti para pemudik ini tidak punya alasan mengapa mereka harus memaksakan diri untuk mudik. Mari kita coba analisa mengapa mereka nekat mudik
Yang pertama ini mungkin karena mereka Rindu. Seperti dendam, Rindu harus dibayar tuntas. Kira –kira begitu menurut eka kurniawan yang ia sematkan pada judul novelnya. Istilah Mudik Sendiri dikenal di era 60 -70 an semenjak terjadi Urbanisasi dengan banyaknya warga desa yang mencari peruntungan hidup di Kota. Asal usul kata mudik sendiri menurut Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga Surabaya Prof. Purnawan Basudono berasal dari kata “ Udik” yang berarti ujung. Orang Desa dianggap sebagai sumber orang kota dalam konteks urbanisasi. Jadi ketia kita kembali ke desa disebut mudik karena kembali ke ujung mereka yakni desa. Pelaksanaan mudik ini biasanya dilakukan pada saat hari raya Idul Fitri guna bersilaturrahmi kepada saudara dan handai taulan.
Dengan begitu, yang perlu dipahami adalah fenomena mudik sesungguhnya bukan hanya semata soal ritual keagamaan menyambut hari raya. Namun mudik merupakan suatu implikasi dari adanya urbanisasi. Mereka yang urban ke kota ini harus rela berpisah dengan tanah kelahirannya untuk bisa bertahan hidup demi ia dan keluarganya. Maka jangan heran jika rindu itu sangat menggebu karena mereka harus LDR. Bagaimana kerinduan seorang bapak kepada anaknya untuk memastikan tumbuh kembang buah hatinya yang ia perjuangkan sampai ke tanah rantau. Bagaimana kerinduan seorang anak kepada orang tuanya di kampung halaman baik yang sedang menempuh pendidikan maupun yang sedang bekerja demi menjadi anak kebanggan orang tuanya serta bentuk bakti sang anak serta mencari restu agar nasibnya di kota tidak terlunta – lunta. Dan bagaimana kerinduan seorang kekasih kepada pasangannya yang sedang ia perjuangkan cintanya yang hingga ia rela mengadu nasib ke kota yang ini tidak serta merta bisa diselesaikan melalui Virtual baik Video Call maupun Zoom meeting karena infrastruktur di kampung yang kurang begitu memahami serta bisa jadi orang tua yang masih gagap terhadap teknologi.
Mungkin kalau semua Pemudik sekaya Raffi Ahmad atau Atta Halilintar masih mending. Mereka bisa melakukan perjalanan diluar Jadwal pelarangan mudik dan bisa melakukan Rapid/Swab tes mandiri. Namun realita tak berkata demikian. Mereka yang nekat mudik sampai menyerobot penyekatan jalur mudik rata – rata pemotor. Bisa dibayangkan berapa gaji yang mereka peroleh dalam satu bulan di tanah rantau walau tak menutup kemungkinan ada diantara mereka yang berpenghasilan tinggi. Jangankan buat rapid, buat makan sehari – hari saja mereka mungkin masih pas – pasan. Apalagi kalau harus tes mandiri dengan harga yang bisa dikatakan cukup mahal walaupun sekarang sudah ada Genose yang seharga 30 ribu ketika hendak naik kereta api. Mungkin mereka akan mengikuti tes tersebut jika dilakukan secara gratis. Itupun mungkin tidak setiap hari ada. Belum lagi tuntutan kerja yang belum tentu mentolerir mereka bisa kembali ke kampung halaman sewaktu – waktu, apalagi jadwal libur yang ditetapkan pemerintah semakin sedikit seolah masyarakat disuruh kerja aja. Pada akhirnya momentum yang paling pas adalah waktu lebaran. namanya saja sudah rindu, walau kadang harus mempertaruhkan kesehatan ya tetap saja dilakukan agar rindunya terbayar tuntas. Apalagi tahun kemarin sudah dilarang mudik, masa tahun ini tidak mudik?
Yang kedua, bisa jadi mereka terkena PHK imbas dari pandemi. Seperti yang terjadi pada seorang wanita asal lampung yang hendak kembali ke kampung halamannya dari Jakarta yang terjaring razia di wilayah Banten. Mungkin kasus ini tidak hanya menimpa wanita tersebut. Bisa jadi puluhan bahkan ribuan orang harus kembali ke kampung halamannya agar nasibnya di kota tidak semakin parah. Jika ia harus bertahan di kota, mau makan apa mereka disana? Sementara kehidupan masih harus berlangsung.
Yang ketiga, bisa jadi mereka ini sebenarnya hanya ingin berwisata di kampung halaman. Karena dengan isu bahwa “Mudik Dilarang Bewisata dibolehkan” dengan dalih “untuk stabilitas ekonomi”. walau pada akhirnya juga merugikan ekonomi juga terutama di bidang Transportasi dengan adanya larangan mudik. Mereka ini bisa hanya butuh menepi dari hiruk pikuk kota dan menikmati suasana berwisata di kampung halaman mereka. Lumayan, satu dayung dua pulau terlampaui. Berwisata dapet bersilaturrahmi saat lebaran juga dapet.
Namun apapun alasan yang muncul diluar analisa alasan diatas, tentu semua berharap agar seluruh pemudik tetap selamat sampai tujuan dan tidak menimbulkan klaster baru. Serta tetap menjaga protokol kesehatan ketika sudah sampai di kampung agar terhindar dari virus Covid 19. Karena bagaimanapun negeri ini masih dalam kondisi pandemi sampai batas waktu yang sama – sama tidak tau.