Di sebuah panti asuhan terjadilah pertemuan antara Haji Muhidin sekeluarga dengan Haji Sulam yang juga turut membawa keluarganya. Keduanya sama-sama hendak memberi santunan kepada anak yatim. Jika Haji Muhidin membagi-bagi amplop lalu meminta anak-anak panti mengucapkan terima kasih kepadanya dengan suara lantang, berbeda dengan Haji Sulam yang membawa nasi kotak dan memberikan apa adanya tanpa embel-embel meminta ucapan terimakasih dengan paksa sebagaimana haji Muhidin. Kedua haji tersebut selalu berlawanan. Jika haji Muhidin memerankan peran antagonis sebaliknya haji Sulam memerankan peran protagonis.
Penggalan cerita di atas merupakan cuplikan salahsatu episode sinetron Tukang Bubur Naik Haji the Series yang tayang secara bersambung di RCTI. Sinetron religi berbalut komedi satir yang mulai digandrungi ibu-ibu ini merupakan gambaran umum bagaimana kata haji menjadi semacam sandang gelar atau titel yang dibanggakan masyarakat kita di Indonesia. Haji bukan saja menjadi simbol kesempurnaan menjalankan rukun islam juga menjadi semacam pencapaian prestise sosial.
Penjara Simbol
Prilaku yang dipertontonkan oleh Haji Muhidin bisa terjadi di mana saja, boleh jadi itu terjadi kepada tetangga kita, saudara kita, atau keluarga kita sendiri. Ini juga terjadi di kampung saya, dimana julukan haji menjadi semacam titel atau simbol prestise sosial yang membanggakan. Ia yang telah travel ke Makah dan menunaikan ibadah haji sepulangnya ke kampung halaman akan merubah wibawa dan penampilannya. Jika Lelaki, maka ia akan sering memakai kopiah berwarna putih lengkap dengan balutan sorban di setiap salat jumat atau berjamaah di masjid bahkan bisa dikenakan kemana pun ia pergi, bila perlu mengenakan pakaian jubah khas Arab sebagaimana tampilan tokoh Bang Madit dalam sinetron Islam KTP. Jika perempuan, ia akan berselendang putih bermanik-manik dengan seabreg perhiasan mencolok di sana-sini sebagaimana penampilan tokoh Hajah Maimunah istri Haji Muhidin.
Saya kira, ini tak hanya terjadi di kampung saya, bisa juga terjadi di kampung anda bahkan mungkin di sebagian besar masyarakat di Indonesia. Saya tidak tahu persis kapan pertama kali julukan haji menjadi semacam titel yang wajib disematkan kepada mereka yang pernah menunaikan ibadah haji. Saya tidak tahu apakah di luar Indonesia terjadi hal serupa. Saya pun tidak ingin mempermasalahkannya. Yang mengusik hati saya adalah pelaksanaan ibadah ritual yang dicemari oleh perburuan prestise sosial. Sehingga para haji atau hajah terpenjara dalam “pemberhalaan” ritual sekadar untuk memenuhi tuntutan titel atau malu dipandang masyarakat. Hal ini mengesankan ritual yang mereka lakukan hanya semacam alat untuk memperoleh pengakuan citra positif dari masyarakat.
Filosofi Haji
Kadang saya berpikir apakah saat berada di tanah suci mereka tidak berpikir atau merenungi filosofi yang bersembunyi di balik ritual-ritual ibadah haji. Tawaf; mengitari kabah, sai; mengenang perjuangan seorang ibu yang pontang-panting mencarikan air untuk minum anaknya, melempar jumrah; membuang ekses-ekses negatif yang bercokol dalam diri kita, tahalul memotong rambut; menginspirasi untuk senantiasa menjaga kebersihan dan kerapihan, pakaian ikhram; menelanjangi diri melepas atribut-atribut keduniawian di hadapan-Nya bahwa kita semua sama makhluk lemah yang merindukan kasih-sayang-Nya, qurban; mengajari kita keikhlasan, iman itu olah rasa bukan pengerahan logika, minum air zam-zam; menginspirasi kita untuk mencari penghidupan yang baik. Haji bukan semata keberangkatan kita ke tanah suci melainkan upaya kita untuk senantiasa menjaga kesucian diri. Wallahu a’lam
1 Comment. Leave new
Pancen Jozz Gandozz