Meraba-raba Pesan Sunyi

Mendapat sebuah paket buku adalah sebuah berkah. Tar terkecuali paketan buku buku puisi karya sastrawan Budi Setyawan (buset) yang saya dapat langsung dari sang empunya, ya penyair produktif pegiat sastra di berbagai komunitas dan presiden FSB (Forum sastra bekasi), sekaligus redaktur majalah sastra JEJAK. Paketan buku langsung saya serahkan kepada komunitas Perpustakaan jalanan di Alun alun kota, yang dikomandani oleh mas Aldi, Andi pantomim, mbak nisa dan kawan-kawan. Bentuk perhatian seperti inilah yang kita harapkan pada penulis-penulis lain yang notabene berasal dari Purworejo. membangun kemistri pada generasi muda, mennyirami benih tunas tunas pena kelak, agar tongkat estafet kepenulisan dan literasi bisa terus terjaga.  Kayaknya sudah cukup deskripsi tentang mas Buset itu siapa, hehe next.

Setelah menekuri 2-5 karya puisi mas Buset yang terdapat pada buku sehimpun puisi ” Sajak Sajak Sunyi”. Saya memberanikan diri untuk menulis catàtan ngawur ini mewakili beberapa teman yang telah membaca juga sampai sekian judul. Sebetulnya kesalahan-kesalahan fatal memaknai Puisi tematik seperti ini sering kita dapati karena kejenuhan mereka membacanya. Tidak sampai khatam sudah tergesa untuk komentar, karena puisi-puisi mas Buset ini bisa juga stanza stanza yang saling berkaitan (maaf saya buat istilahnya agak ngawur).

Selain itu untuk kawula muda yang doyan cinta cintaan (ragawi), kayaknya membaca buku kumpulan puisi seperti ini bak mendengarkan musik pengantar mayat, heheh. Membosankan, takut dan yang jelas puisi-puisinya mengangkat tema yang “berat”. Mungkin ini dipengaruhi beberapa hal, misalnya karena faktor usia dan kematangan pengalaman religiotas sang penyair. Tak salah mas Buset dalam kata pengantarnya suruh ngopi dan ngletik ketika jenuh membaca buku ini. Tapi bagi saya pribadi kumpulan buku puisi ini seperti ketika saya membaca pesan-pesan keTuhan-an dari para laku sufi. Enak dibaca, dipahami dan mempunyai pesan yang dalam.

Ya saya sangat terkesan dengan pengalaman batin sang penyair yang tertuang dalam beberapa puisi ini, Saya yakin ini bukan sekedar imajinasi yang dibangun. Ketika pesan yang disampaikan termasuk tema yang berat bukan hal yang renyah, maka ketika selesai mengeja 1 puisi kita akan berhenti dan meminta sedikit renungan dan tak sadar kita pun akan masuk pada ruangan. Ruangan itulah yang sering disebut sebagai ruh atau inti pesan dalam senuah puisi, dan efek dari sebuah ruh puisi akan diam diam menyelinap pada batin-batin kita. Terkadang kita sebagai konsumen puisi kangen akan hal- hal yang demikian ini. Yang selama ini disajikan oleh beberapa sastrawan dengan mengangkat hal yang renyah, kemriuk dan tentunya karya mereka tak butuh renungan dan kurang meninggalkan kesan yang mendalam, efek moralnya biasa biasa.

Selain dalam akan makna dan penghayatan beberapa puisi ini juga tak njelimet, ringan dengan kosa kata keseharian yang tak membosankan. Kadang beberapa puisi koran mingguan pada kolom puisi itu juga harus dikritisi, kenapa puisinya dengan bahasa imajinatif yang sangat tinggi sampai yang tahu hanya ” Tuhan, malaikat dan penulis” padahal konsumen kan juga berhak tahu. Jangan sampai ada anggapan dari khalayak umum bahwa puisi yang baik adalah puisi dimana ketika dibaca itu kita tidak tahu arti pesannya. Itu celaka!, karena asas dasar puisi adalah bagaimana menyampaikan pesan dengan kesan yang kuat, mempunyai efek moral, kontrol sosial dan menjadikan penyeimbang.

Mari kita sama-sama menengok sebentar ke belakang, siapa pendiri pendiri bangsa kita..? pak proklamator ( soekarno-hatta) beliau adalah pelaku-pelaku sastra pada waktu itu. Bung hatta dengan Puisinya fajar menyingsing, bunga bakung dsb, beliau menuangkan gagasan ide dan proses lahirnya Bangsa ini. Pak soekarno seorang dramawan, penulis naskah drama sekaligus aktor, yang sekarang mulai hilang adalah puisi-puisi seperti mereka. Sepertinya penikmat sastra seperti saya selalu menunggu dan berharap cemas. Bahkan dulu puisi dan gurindam juga mengangkat disiplin disiplin ilmu supaya dengan puisi mudah dipahami, seperti beberapa gurindam karya Raja Ali Haji, dan tembang macapat yang tak henti hentinya mengawal moral hidup kita.

Sebelum saya tutup unek unek ini, mari kita rayakan pagi ini dengan membaca sebuah puisi karya mas Budhi Setyawan yang ditulis dalam buku ini.

Di Atas Kata
engkau yang kubayangkan terbang
atau memang penghuni awang awang
kucari lewat dzikir dan sembahyang
kukejar dengan qasidah dan dendang
sedangkan diri ini masih dibawah duga
melumur umur dengan prasangka
namun waktu tabah merawat sasmita
malam sajikan epilog hari fana
nadi yang merambati gunungan doa
menafsir lirih suara di sunyi dada
dengan setapak kecil menuju kerlip lentera
tak hatam jua menguak himpunan rahasia

Bekasi 2014

Salam sastra dan selamat menunaikan puisi.

Citizen
Puisi, Sastra

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Fill out this field
Fill out this field
Please enter a valid email address.
You need to agree with the terms to proceed

Rekomendasi
Populer This Month
Populer
Direktori