Realitas Sosial dan Ekonomi Dalam Sajak-Sajak Aren

Saya memang tidak produktif dalam membuat puisi, dan peryataan itu diamini oleh beberapa teman penulis, yang kebetulan kenal dengan saya. Mas Ilhan erda sampai bosan menasehati –lebih tepatnya memarahi- “Mas kapan terbit lagi puisinya?”, bahkan ia sering menyindir ketika ketemu atau pas kebetulan jalan bareng. Mas Budhi Setyawan pun sampai menasehati, dengan nada menekan “Terbitkan ulang dengan revisi!” Walaupun tidak disampaikan secara langsung lewat lesan, artinya memang mereka secara moril telah mendukung saya untuk menerbitkan lagi kumpulan buku puisi. Puisi bagi saya bukan sekedar imajinasi yang ditulis dengan kedaan sesadar-sadarnya, dengan mempertimbangan metaforis, diksi, nilai estetika dsb. Tapi perenunganlah yang membuat saya jarang dan tidak produktif, proses kreatif memang saya akui terjadi kelambatan, ketidak seriusan mungkin atau kurang konsen adalah hal yang selama ini jadi penghambat utama.

Pekerjaan yang berpindah-pindah, dari teknik ke travel, pemberdayaan ekonomi pedesaan sampai organisasi, terlebih lagi ketika saya kurang bisa menata jadwal, menejemen waktu yang amburadul turut menyumbang. Ah, ini hal yang harus diperbaiki ketika saya sudah konsen mau nulis. Beruntung beberapa karya saya masih terselamatkan karena selama ini saya nulisnya pinjam laptop milik teman. Ada 13 puisi yang saya tulis di tahun 2013 terselamatkan di folder  laptop seorang teman. Dari 13 puisi itu ada sebuah puisi yang membuat saya menjadi lega, karena puisi itulah dasar pemikiran saya dalam mengembangkan usaha Gula Aren Kristal. Disinilah benang merah antara imajinasi, puisi dan penghayatan, langsung saja simak puisinya:

PAGI BUNGA AREN
Subuh menyapa lewat embun yang luruh di  daging daging daun.
dikokok ayam yang melarutkan  waktu fajar.
disaat bumbung di pundak,pisau penyadap lindap dalam pinggang,
diwangi nira semarakkan pagi yang masih berwarna tembaga
diwaktu musim bunga aren  yang dijamah lebah madu,
adalah irama palu palu yang bertalu rindu
saat nadi jelata yang berdegup dalam periuk dapur.
diatas tungku pembakaran mereka kunyah manis gula
dalam senyum dan tawa

Desember 2013

Puisi ini lahir pada penghujung tahun 2013, ketika para petani masih saya gambarkan dengan imajinasi datar, sentosa dan bahagia. Walaupun saya juga meminjam diksi “jelata”. Jelata dalam diksi itu bukan bermaksud jelata yang tidak bahagia dan sentosa, melainkan jelata dalam arti “rakyat biasa”. Kehidupan petani gula kala itu memang masih relative bahagia, tidak seperti kehidupan petani dan penggrajin gula saat ini. Dengan harga gula aren yang nasibnya tidak menentu bak perjudian maka, puisiku adalah kemaran bahkan kalau menurut beberapa teman saya itu “serapah”, dan mungkin kau terlalu banyak mengkonsumsi karya mas Wiji Thukul. Maka tak heran bila puisi ini dipuji oleh seorang pengulas, penulis dan aktivis puisi, juga sebagai presiden Kopi Sisa, bapak Soekoso DM. Berikut tulisan singkat beliau:

“Pada sajak Pagi Bunga Aren, yang nampak runtut larik-lariknya, dan tersusun saling mendukung antara larik satu dengan larik – larik berikutnya. Sajak ini sederhana, menggambarkan kesederhanaan hidup pemetik nira pohon aren”

Soekoso DM

di waktu musim bunga aren yang dijamah lebah madu /
adalah irama palu-palu yang bertalu rindu /
saat nadi jelata yang berdegup dalam periuk dapur /
di atas tungku pembakaran mereka kunyah.
manis gula dalam senyuim dan tawa 

Disadari atau tidak sekarang puisi saya adalah pemberontakan, karena realita dilapangan yang memang mengharuskan saya menulis puisi dengan lantang. Bukan karena saya sebagai perintis usaha Gendhis aren, tapi melainkan puisi saya adalah wakil dari lidah para petani yang papa:

Doa Pohon Aren di Hari Kemerdekaan.

semonga cukong dan tengkulak yang menghisap nira
yang menetes dari peluh keringat para petani lekas mati
dan mereka yang tak memihak petani aren
yang papa lekas binasa
amiiin.

hd. Asrul

Kalau menulis sebuah karya hanya mau dipuja, tanpa ada efek moral dan penghayatan, juga sebagai kontrol untuk kebudayaan, politik dan berbangsa kita ini, lantas fungsi karya sastra sendiri mau dibawa kemana? Jangan jangan karya sastra menjadi berhala yang menyesatkan, atau lebih parah lagi ia tidak berdiri di kaki sendiri tapi sesuai pesanan.

Salam sastra, dan Aren jaya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Fill out this field
Fill out this field
Please enter a valid email address.
You need to agree with the terms to proceed

Rekomendasi
Populer This Month
Populer
Direktori