Undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang pers menyebutkan, bahwa fungsi pers adalah media informasi, hiburan, pendidikan dan kontrol sosial. Dalam tatatan trias politica, pers juga menempati urutan keempat setelah eksekutif, legislatif juga yudikatif. Ini menunjukkan peran pers yang tidak main-main. Pers penting bagi kelangsungan demokrasi kita.
Di tengah pergolakan tatanan hidup hari ini yang kian tak jelas, fungsi pers sebagai media pendidikan serta kontrol sosial tentu harus segera dikedepankan. Mengingat pers hari ini mulai kehilangan kodratnya. Idealisme serta nalar kritisnya kian surut seiring berjalannya waktu.
Fungsi pers yang kian terkaburkan dengan jelas kita lihat pada pemilu 2014 lalu. Setidaknya itu yang saya lihat jelas. Masih ingatkan? Tentu masih. Misalnya,berita dari stasiun televisi A yang pemiliknya merupakan pendukung B, selalu bertentangan dengan pemberitaan stasiun televisi C yang mendukung D. Pun sebaliknya.
Bayangkan bagaimana orang awam seperti saya bila mendapati berita semacam itu, pastinya bingung kan. Media yang seharusnya mendidik malah sebaliknya, dalam bahasa saya mungkin bisa saja mengadu domba atau malah sengaja mengadu? Saya tidak tahu.
Dikebiri
Tahun itu, mungkin sampai saat ini pers masih pincang sebelah. Fungsi sebagaimana diamanatkan dalam undang-undang sudah tidak diindahkan lagi. Pemberitaan yang objektif dan berimbang sudah tak dihiraukan lagi. Singkatnya pers, mengamini kehendak pemilik media. Opini digiring begitu rupa hingga mengaburkan kebenaran lalu menerangkan kebatilan. Semuanya demi kepentingan pribadi serta kelompok masing-masing.
Saya ada kisah menarik tentang media yang hari ini memang banyak yang tak adil dalam pemberitaannya. November tahun lalu saya berkesempatan mengunjungi Kota Semarang, selain jalan-jalan serta berburu buku karena sedang ada obral akhir tahun, juga untuk menambah kawan serta melebarkan jaringan pers. Dalam kesempatan itu saya mampir ke kantor Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Semarang di Jalan Nakula II No.5 belakang PKM UDINUS.
Tiba sekitar pukul 12 siang, saya langsung disambut hangatsuguhan kopi hitam dengan kepulan asapnya yang harum. Singkatnya, obrolan bersama wartawan dari berbagai media yang ada di Kota Lumpia itu mengarah pada curhat-curhat tugas berat sebagai pekerja media. Satu diantara teman wartawan itu mengisahkan, betapa beratnya menjaga idealisme seorang wartawan. Pemberitaan kritis sedikit bisa didamprat atasan.
“Pernah saya menulis laporan semi investigasi tentang suap, redaktur memberi pujian atas tulisan saya, begitu koran terbit, malamnya dapat teguran. Karena yang saya korek kasusnya adalah tetangganya bos (pemilik media tempat saya bekerja), “ungkapnya.
Begitu cerita-cerita dari pekerja media di lapangan. Lalu saya bertanya, kalau begitu lantas bagaimana kang?
Memang berat untuk menjaga idealisme dan nalar kritis wartawan ketika sudah terjun di media konvensional yang sudah bicara urusan bisnis untung-rugi. Yang menjadi andalan adalah media-media alternatif semacam pers mahasiswa, itu adalah media yang benar netralnya. Tak ada kepentingan yang mencengkeramnya. Begitu.
Jika kepentingan sudah menggerogoti keluhuran pers dan media, tentu kita harus punya strategi melawannya. Seperti yang dikatakan kawan wartawan Semarang itu, memainkan peran media-media alternatif tentu menjadi solusi tepat.
Saya rasa peluang ini yang mesti ditangkap. Sebagai pelajar, ini menjadi tugas kita untuk memainkan peranan penting media. Pelajar tentu harus dibekali ilmu tentang media yang baik. Bagaimanapun juga pelajar yang tidak berafiliasi dengan kepentingan, baik politik maupun ekonomi mesti mengambil peran strategis ini. Peran sebagai juru informasi yang dipercaya.
Dengan kemudahan akses internet dan arus perkembangan teknologi informasi harusnya menjadi peluang kita.Data dari laman resmi kementrian informasi dan komunikasi, kominfo.go.id menunjukkan pengguna internet di Indonesia sampai saat ini mencapai 63 juta orang.
Singkatnya, pelajar mesti menggenggam media. Menyampaikan kebenaran yang sebenarnya, kepentingan kita adalah kepentingan rakyat bukan kepentingan pribadi maupun kelompok. Akhirnya, pelajar sekarang cepat-cepatlah genggam media.
Oleh : Achmad Ulil Albab
ditulis dalam Cyber Education Project oleh IPNU Jawa Tengah