Sebelum Moh Iriawan, Inilah Ketum PSSI Sejak Milenium Baru: Semuanya Penuh Dosa

Sepak bola Indonesia sedang sakit alias tidak sehat, maraknya kasus pengaturan skor yang mana pengurus PSSI banyak yang terlibat di dalamnya, kerusuhan antar suporter, gaji pemain yang tidak dibayar, hingga prestasi timnas senior yang carut marut menjadi rangkaian masalah serius yang terjadi di dunia si kulit bundar tanah air.
PSSI sebagai federasi sepak bola Indonesia seharusnya mempunyai solusi yang jitu untuk mengatasi semua masalah tersebut. Tapi yang terjadi justru orang-orang yang menjabat di kepengurusan PSSI malah terlibat berbagai kasus. Dan pengurus PSSI seolah-olah menutup mata atas berbagai permasalahan sepak bola Indonesia.
Sepak bola adalah alat pemersatu bangsa bukan alat pemecah belah bangsa. Sepak bola kita bukan bahan candaan, sudah saatnya semua stakeholder sepak bola Indonesia duduk bersama sambil minum kopi untuk mendiskusikan langkah-langkah pembenahan sepak bola ke arah kualitas yang lebih baik.

Tidak hanya beberapa sektor saja yang perlu dibenahi, namun semua yang berhubungan dengan sepak bola Indonesia secara keseluruhan harus di benahi, mulai dari peningkatan kualitas wasit, pembenahan kualitas jadwal kompetisi hingga yang paling penting kualitas federasi itu sendiri. Karena sepak bola di suatu negara bisa menjadi baik jika federasinya juga berkualitas.
Artinya federasi lah akar dalam persepak bolaan di suatu negara. Jika semua stakeholder sepak bola mempunyai tujuan yang sama yakni untuk memajukan sepak bola Indonesia, maka kemungkinan besar prestasi timnas yang selama ini kita rindukan pun akan menjadi kenyataan.

Dan tentunya untuk merealisasikan itu semua dibutuhkan komitmen bersama, dalam hal ini pemerintah, PSSI, klub dan tentunya insan sepak bola. Saya yakin, sepak bola Indonesia akan baik-baik saja jika di kelola oleh orang-orang yang tidak haus kekuasaan dan tidak menjadikan sepak bola sebagai kepentingan politik.
Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI yang digelar di Hotel Shangri-la, Jakarta baru saja usai, dan telah menghasilkan Mochamad Iriawan alias Iwan Bule yang notabene berlatar belakang seorang polisi menjadi ketua umum PSSI untuk masa periode 2019-2023.

Sedari dulu, tiap Kongres PSSI ataupun KLB yang diganti cuma ketua umumnya saja. Jika serius ingin membawa sepak bola Indonesia berprestasi, Maka Revolusi PSSI menjadi hal yang bisa dilakukan. Artinya semua pengurus PSSI yang sudah lama menjabat, yang sudah berlumpur dosa wajib dirombak dan digantikan oleh orang-orang baru. Orang-orang yang mengerti sepak bola.

Saya berharap terpilihnya Iwan Bule sebagai ketua umum yang baru dapat membawa perubahan yang signifikan dalam dunia persepakbolaan tanah air. Sejak era milenium baru, Iwan Bule menjadi ketua umum yang ke-6. Sedikit flasback ke belakang, mari segarkan pikiran kita untuk kembali menengok kiprah ketua umum PSSI sejak era milenium baru.
Dalam perjalanannya, sebelum Iwan Bule terdapat 5 orang yang menduduki ketua umum. Dari kesemuanya tak ada yang benar-benar mampu membawa sepak bola Indonesia ke arah yang positif. Justru sebaliknya, ketika mereka memimpin, Indonesia seperti dibawah kubangan lumpur yang sulit untuk beranjak naik.
Agum Gumelar
Pada awal pergantian abad, PSSI di pimpin oleh sosok Militer, Agum Gumelar. Bisa dikatakan era kepemimpinan pria kelahiran 17 desember 1945 ini sedikit lebih baik jika dibandingkan dengan ketua-ketua selanjutnya.
Meski begitu, PSSI era pak Agum, yang menjabat sejak 1999 hingga 2003 menjadi awal timnas Indonesia kering prestasi. Prestasi terbaik timnas di era itu hanya sebatas dua kali runner-up piala tiger (sekarang piala AFF). Namun ada sedikit kebaikan, di eranya Pak Agum, Timnas tampil cukup baik di penyisihan grup piala Asia 2000 yang digelar di Lebanon meskipun akhirnya gagal lolos ke fase berikutnya.
Jika dibandingkan dengan ketua-ketua selanjutnya, Pak Agum berbeda, beliau tak seperti ketua yang lain yang haus akan jabatan, pak agum menolak kembali memimpin PSSI setelah masa jabatannya habis.
Nurdin Halid
Setelah eranya Agum Gumelar, berikutnya PSSI di pimpin sosok politikus, Nurdin Halid. Nurdin terpilih sebagai Ketua PSSI pada tahun 2003, saat terpilih ia sedang menjabat sebagai anggota DPR. Selama masa kepemimpinannya, Nurdin dikenal sebagai ketua yang kontroversial. Ia pernah memimpin PSSI dari balik penjara akibat kasus tindak pidana korupsi pengadaan minyak goreng pada tahun 2007.
Kasus Nurdin tersebut bertentangan dengan standar statuta FIFA, yang mana menyatakan seorang pimpinan federasi sepak bola nasional tidak boleh terlibat kasus kriminal. Akibatnya, berbagai pihak termasuk Jusuf Kala dan FIFA mendesak Nurdin untuk mundur dari jabatannya dari kursi ketua umum.
FIFA bahkan mengancam akan memberi sanksi kepada Indonesia jika tidak dilakukan pemilihan ulang ketua umum. Namun, Nurdin dengan sikapnya yang kolot menolak untuk mundur dan memilih memimpin PSSI dari balik jeruji besi.

Setelah masa tahanan selama dua tahun selesai, Nurdin kembali memimpin PSSI. Selama masa kepemimpinannya, selain Korupsi, sejumlah kasus lain juga mencuat. Mulai dari penghilangan status degradasi kompetisi kasta tertinggi, pelanggaran disiplin di pentas kompetisi, hingga kasus-kasus dugaan pengaturan skor.

Di saat bersamaan, prestasi Timnas Indonesia di berbagai event internasional juga terpuruk. Meski, timnas sempat dua kali tampil di piala asia, sesuatu yang tidak terjadi di era ketua-ketua berikutnya.

Akibat banyaknya kontroversi dan dianggap gagal menjalankan roda federasi, berbagai pihak mendesak Nurdin untuk melepas jabatannya. Desakan meminta Nurdin lengser dari PSSI semakin bergema seusai kegagalan Timnas Piala AFF 2010.

Di sisi lain, pada oktober 2010 muncul deklarasi kompetisi tandingan Liga Super Indonesia yakni Liga Primer Indonesia yang digagas sang pengusaha minyak, Arifin Panigoro. Kompetisi ini tidak mendapat restu dari PSSI era Nurdin Halid. Namun LPI pada akhirnya disetujui oleh Menpora, Andi Malarangeng. Klub-Klub anggota PSSI yang membelot ke LPI pun diberi sanksi oleh PSSI.
Semenjak munculnya LPI, kisruh di PSSI semakin menjadi-jadi. Nurdin Halid melarang segala aktivitas yang dilakukan oleh LPI. Pada 26 maret 2011 di pekanbaru, Riau sedianya akan dilakukan Kongres PSSI, namun Kongres tidak berhasil diselenggarakan karena terjadi kekisruhan mengenai hak suara.
Sepak bola Indonesia pada masa tersebut dalam keadaan parah, hal itu membuat FIFA memutuskan untuk membentuk komite Normalisasi yang akan mengambil alih kepemimpinan PSSI era Nurdin Halid. FIFA menganggap PSSI era Nurdin Halid tidak bisa mengendalikan sepak bola di Indonesia, terbukti dengan kegagalannya mengendalikan LPI dan menyelenggarakan Kongres.
FIFA juga menyatakan bahwa 4 orang calon ketua umum PSSI yaitu Nurdin Halid, Nirwan Bakri, Arifin Panigoro dan George Toisutta tidak dapat mencalonkan diri sebagai ketua umum sesuai dengan keputusan komite banding PSSI tanggal 28 februari 2011. Selanjutnya FIFA mengangkat Agum Gumelar sebagai ketua komite normalisasi PSSI.
Djohar Arifin Husin
Publik sepak bola nasional tak menyangka kalau sosok Djohar Arifin Husin bakal naik panggung sebagai Ketua Umum PSSI pada Kongres Luar Biasa PSSI di Solo pada 9 juli 2011 silam. Djohar terpilih untuk masa jabatan 2011-2015.
Mengusung gerakan reformasi sepak bola Indonesia, di awal kepemimpinannya Djohar secara kontroversi merombak format kompetisi profesional. Kompetisi kasta tertinggi Indonesia Super League (ISL) garapan PT Liga Indonesia diganti Indonesia Primer League (IPL) yang dioperatori PT Liga Prima Indonesia Sportindo.
Mayoritas klub-klub anggota PSSI bergolak. Mereka menolak kehadiran kompetisi model baru dan operator yang mengelolanya. Pada musim 2012 ISL dan IPL berjalan beriringan.
Saat itu pula, PSSI terbelah menjadi dua. Empat anggota Komite Eksekutif (Exco) PSSI, La Nyalla Mattalitti, Toni Aprilani, Roberto Rouw, dan Erwin Budiawan, membelot dan membentuk Komite Penyelamat Sepak Bola Indonesia (KPSI).
KPSI jadi federasi tandingan PSSI yang mendapat dukungan banyak anggota PSSI. Di saat bersamaan muncul kasus-kasus dualisme klub. Seperti Persija Jakarta, Persebaya Surabaya, Gresik United, PSMS Medan, Arema Indonesia, terbelah menjadi dua.
Pemerintah RI lewat Kemenpora ikut intervensi menyelesaikan konflik dualisme. Lewat proses yang berliku rekonsiliasi PSSI dilakukan lewat forum Kongres Luar Biasa di Hotel Borobudur pada medio Maret 2013. Menariknya Djohar dan La Nyalla bersatu. Keduanya kemudian berduet memimpin PSSI.
Secara kontroversial Djohar Arifin berkhianat ke anggota-anggota Exco PSSI yang mendukungnya. Ia bahkan memecat sejumlah anggota Exco dan menggantikannya dengan figur-figur baru.
Masalah tak berhenti sampai di situ. Selama dua tahun masa kepemimpinannya tahun 2013-2015 banyak kasus-kasus bermunculan. Isu match fixing di pentas kompetisi profesional mencuat ke permukaan. Sejumlah klub terjerat krisis finansial akut. Kasus-kasus tunggakan pembayaran gaji silih berganti bermunculan.
Puncaknya di pengujung 2014 mencuat kasus sepak bola gajah dalam laga PSS Sleman kontra PSIS Semarang. Beralasan tak ingin berjumpa dengan Pusamania Borneo FC di semifinal Divisi Utama, kedua klub saling jual gol bunuh diri. Selain itu, pada era Pak Johar ini, Timnas yang saat itu diperkuat pemain-pemain yang berlaga di LPI alami kekalahan dengan skor 10-0 dari Bahrain di ajang kualifikasi piala dunia 2014.
La Nyala Mataliti
La Nyala Mataliti terpilih sebagai ketua umum pada 17 maret 2015 di Hotel JW Mariot, Jakarta. Dalam pemilihannya, ia mengalahkan Djohar Arifin Husin. Namun, yang lebih menyedihkan, kepemimpinan La Nyalla tidak diakui oleh Menpora, Imam Nahrawi. Status kepengurusan PSSI pun bahkan langsung dibekukan, hal itu memicu FIFA untuk membanned Indonesia dalam ajang Internasional.
Sebelum menjabat ketua, sosok La Nyala memang telah diselimuti kontroversi. Ia dan Johar adalah pemeran utama dalam dualisme sepak bola Indonesia.
La Nyala, Figur pria asal Makassar ini merupakan seorang politikus. Saat memimpin PSSI, ia pernah terlibat kasus korupsi. Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jatim menetapkannya sebagai tersangka kasus dugaan korupsi dana hibah Kaamar Dagang dan Industri (Kadin) Jatim. Suara-suara yang menginginkan digelarnya Kongres Luar Biasa PSSI untuk mencari pemimpin baru mulai bermunculan.
La Nyalla Mattalitti, tetap keras hati menolak mundur sekalipun jadi tersangka.  Ia minta publik menghormati proses pengadilan hingga memiliki kekuatan hukum tetap. Ia secara kontroversial menuding Menpora, Imam Nahrawi, menjadi dalang penetapan status tersangka di kasus uang hibah Kadin Jatim.
Kasus hukum yang menjerat La Nyala tersebut membuat PSSI gerah. Ia pun didepak dari kursi kepemimpinan melalui putusan Kongres Luar Biasa (KLB) pada 3 agustus 2016. Posisinya digantikan oleh Hinca Panjaitan.
Edi Rahmayadi
Lago-lagi sosok politikus kembali hiasi ketua umum PSSI. Edy terpilih dalam KLB PSSI pada 10 november 2016. Di eranya beliau menjabat seperti menjadi kuburan bagi insan sepak bola. Dalam kiprahnya dari 2016 hingga 2019 banyak kasus mengenai kematian suporter sepak bola. Bahkan dibanding saat ketua PSSI era sebelumnya, kasus pecinta bola kehilangan nyawa di era pak Edy adalah terbanyak. Setidaknya terdapat 12 nyawa melayang saat kepemimpinannya.
Selain itu, saat masih menjabat sebagai ketua umum PSSI, pak Edy juga mencalonkan diri sebagai gubernur sumatra Utara. Hal ini tentu saja banyak yang tidak suka. Terlebih saat masa kampanye pak Edy sempat cuti jadi ketua umum. Sehingga kursi tertinggi PSSI menjadi lowong. Setelah terpilih jadi gubernur, itu artinya pak Edy merangkap jabatan dan tidak bisa sepenuhnya fokus.
Di era kepemimpinan Pak Edy selain kasus tewasnya suporter, masalah demi masalah lain terus mengalir mulai dari maraknya kasus pengaturan skor yang sepertinya enggan pergi dari tanah air, hingga kasus kekerasan pemain terhadap wasit. Tim nasional di era Pak Edy juga biasa-biasa saja. Hanya tim junior yang berhasil membawa nama baik Indonesia.
Pada 20 januari 2019, Pak Edy menyatakan pengunduran dirinya dari jabatan ketua umum PSSI. Tampuk kepemimpinan kemudian di serahkan kepada Joko Driyono yang menjabat sebagai Plt. Masalah kembali hinggapi saat Joko Driyono menjabat, Djokdri yang sebelumnya termasuk sosok yang kontroversial di sepak bola tanah air ini terjerat kasus penghilangan barang bukti pengaturan skor, ia pun memilih untuk mengundurkan diri. Kekosongan kursi ketua umum PSSI kemudian diisi oleh Iwan Budianto. Iwan merupakan

Kini ditangan kepemimpinan dan kepengurusan yang baru (rasa lama), semoga sepakbola Indonesia dapat dikelola dengan akal sehat.

Citizen

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Fill out this field
Fill out this field
Please enter a valid email address.
You need to agree with the terms to proceed

Rekomendasi
Populer This Month
Populer
Direktori