Beberapa kali, aku pernah berpikir. Alangkah luar biasanya jika menjadi seperti Kartini yang sepanjang masa dikenang oleh banyak orang. Kartini yang dengan surat-suratnya kerap melukiskan kondisi perempuan pribumi jaman penjajahan. Kartini yang memperjuangkan kebebasan perempuan untuk menuntut ilmu dan belajar. Kartini yang juga memiliki pandangan-pandangan kritis terhadap agamanya, yang bahkan kekritisannya (saat itu) mencapai level pertanyaan mengapa kitab suci harus dilafalkan dan dihafalkan tanpa kemudian diwajibkan untuk dipahami.
Aku pernah berpikir. Begitu menariknya jika menjadi seperti Matahari. Sebagai perempuan Jawa yang menjadi mata-mata legendaris Jerman dan penari erotis paling populer di Paris, Matahari kerap kali mampu menyulitkan Dinas Rahasia Prancis dan Inggris. Kepiawaiannya dalam menari mampu menyelamatkannya dari jerat musuh-musuh di dunia Spionase.
Dan aku pernah berpikir. Begitu cerdas dan tangguhnya menjadi seperti Bu Alimatul Qibtiyah. Bersamaan dengan presentasi tesis, harus ditahannya rasa sakit akibat kontraksi hamil tua. Kontraksi yang bahkan datang setiap 15 menit sekali, nyatanya mampu dilewati dan menghadirkan kabar bahagia bahwa gelar PhD dari University of Western of Sydney Australia berhasil diraihnya.
Melimpah ruah memang, kisah inspiratif dari perempuan-perempuan hebat yang ku ketahui. Sayangnya, aku hanya sebatas pemilik semangat tinggi dan keyakinan kuat untuk menjadi perempuan manfaat. ‘Masih sebatas semangat’. Tanpa kemudian -telah-, berhasil menghadirkan pikiran dan juga tindakan produktif secara konkret, sebagaimana mereka dan beliau-beliau.
Sehingga, Al-Fatihah paling tulus dariku dan untukku mulai saat ini.