Akhir-akhir ini ketika membuka sosial media saya selalu dihinggapi rasa malas, terutama ketika membuka Twitter dan saya arahkan ke tab pencarian, disana hampir setiap hari yang menjadi trending topik selalu perihal politik. Hal tersebut membuat saya ingin berkomentar, tapi lagi-lagi akal sehat saya berkata untuk tidak mengotori media sosial dengan sampah kebodohan yang saya tulis di akun yang penuh dengan isi ujaran kebencian tersebut. Maka bisa dipastikan akun sosial media para pendukung dua kubu saling menjatuhkan satu sama lain, dengan berbagai narasi yang mereka buat, dari yang berbau data menurut lembaga survei, hingga membawa agama sebagai senjata politik masing-masing kubu. Dan hal terakhir ini membuat saya selalu prihatin, akankah hal tersebut berlangsung terus-menerus pada momen-momen politik tertentu.
Beberapa waktu lalu Seorang Ustadzah pendukung salah satu paslon, dalam doa yang dipanjatkan disebuah acara bahkan sampai mengatakan khawatir tidak akan ada yang menyembah Tuhan lagi andaikan paslon dukunganya tidak menang, tersebut tentu saja hal itu memicu perselisihan bahkan pro kontra bermunculan baik di jagat dunia maya dan dunia nyata. Hal tersebut membuat sederetan panjang bahwa agama sering sekali dimainkan dalam isu politik belakangan ini.
Hingga saya membuka kembali buku yang pernah saya baca, buku kumpulan tulisan Presiden Republik Indonesia ke-4 KH. Abdurrahman Wahid atau yang akrab dipanggil Gus Dur. Dalam Buku tersebut yang merupakan esai yang pernah diterbitkan dibeberapa media massa Gus Dur banyak menulis terkait Pemikiran Tokoh Islam, Kebudayaan, Ideologi, Agama, dan tak ketinggalan hal Politik juga dibahasnya dalam buku tersebut.
Beberapa esai dalam buku tersebut dikelompokan berdasarkan sub bab membuat kita nyaman tulisan tersebut sedang membahas tentang hal apa. Tulisan yang ditulis dengan gaya yang humoris, tegas, juga banyak sindiran menjadikan buku tersebut bener-benar berisi tulisan ala Gus Dur yang memang piawai merangkai kalimat yang tidak kering untuk dibaca. Dalam tulisan yang berjudul “Tiga Pendekar dari Chicago” misalnya Gus Dur menyoroti para intelektual muslim Indonesia yang berasal dari Univeritas Chicago yakni Amien Rais, Nurcholis Madjid, dan Ahmad Syafi’i Ma’arif yang meskipun berasal dari “Satu Rumah” namun memiliki banyak perbedaan. Produk didikan barat yang kata beliau memiliki perbedaanya masing-masing dalam merepresentasikan nilai Islam itu sendiri. “Cukup besar perbedaan antara ketiga pandanggan itu. Dan, itulah yang menjadi ciri “kesatuan” antar ketiga pendekar Chicago itu. Mereka sama-sama memiliki komitmen untuk mengembangkan Islam sebagai cara hidup, dalam bentuk sistematik atau hanya kultural saja. Mereka juga sama-sama merasakan kebutuhan untuk mengembangkan kemampuan kaum muslim di segala bidang, untuk mengejar ketertinggalan mereka selama ini”. (hlm. 5).
Gus Dur juga banyak menyorioti pandangan tokoh muslim lainya seperti kontroversi Catatan Harian Ahmad Wahib terkait banyak pro dan kontra yang ditimbulkan dari tulisan Ahmad Wahib tersebut, juga kritik terhadap tulisan V.S. Naipul dalam lawatanya ke beberapa negera muslim untuk melakukan atau mencari definisi Islam yang ramah, ia menyayangkan kunjungan Naipul ke Pesantren tidak membuatnya memahami devinisi Islam yang Ramah tersebut. “Sayangnya kunjungan Naipul ke dunia pesantren tidak membuatnya memahami keadaan secara baik. Padahal disanalah ia akan mendapatkan sebuah kekuatan yang sedang tumbuh, untuk menyajikan Islam yang tidak marah”. (hlm. 40).
Hingga membaca beberapa esai dalam buku tersebut saya cukup merenungkan kalimat yang beliau tulis. Tulisan yang ditulis dulu ternyata kedalaman esainya patut direnungkan untuk membandingkanya dengan keadaan masa kini, artinya konteks tulisan tersebut menurut saya tak lekang oleh waktu. Baik itu tulisan yang menyangkut tentang Agama, Sosial Budaya, hingga Politik sekalipun.
Dalam tulisan yang menjadi judul buku tersebut “Tuhan Tidak Perlu Dibela”, Gus Dur berkisah tentang seorang Sarjana yang heran atas laku beragama orang-orang di Indonesia, hingga sang sarjana mencari jawaban atas apa yang menurutnya kurang berkenan terhadap laku beragama orang-orang tersebut. “Allah itu Maha Besar. Ia tidak memerlukan pembuktian atas kebesaran diri-Nya, sama sekali tidak ada pengaruhnya atas wujud-Nya dan atas kekuasaan-Nya. Al-Hujwiri mengatakan : Bila engkau menganggap Allah ada hanya karena engkau yang merumuskanya, hakikatnya engkau sudah menjadi kafir. Allah tidak perlu disesali kalau Ia “menyulitkan” kita. Juga tidak perlu dibela kalau orang menyerang Hakikat-Nya. Yang ditakuti berubah adalah presepsi manusia atas hakikat Allah dengan kemungkinan kesulitan yang diakibatkannya”. (hlm. 67).
Siapa yang menyangka bahwa kalimat “Tuhan Tidak Perlu Dibela” 22 tahun mendatang akan mendunia dengan deklarasi yang dilakukan oleh dua tokoh dunia pemimpin umat Katolik Paus Fransiskus dan Imam Besar Al Azhar Syeikh Ahmed Al Tayeb. Dokumen deklarasi yang mengatasnamakan korban perang, persekusi, dan ketidakadilan tersebut ditandatangani di Abu Dhabi sebagai komitmen Vatikan dan Al Azhar dalam memerangi ekstrimisme.
Maka sangat menarik membaca buku berisi esai-esai yang memang kedalaman isiniya tidak lekang oleh waktu. Masa ketika orang berlomba-lomba membela Tuhan dengan argumen yang dibawanya sekalipun yang diserang adalah orang yang memeluk agama yang sama, namun presepri sekarang yang mucul adalah yang tidak sealiran atau sepaham dengan keyakinanya maka Tuhan yang disembah sudah berbeda, maka tak heran jika ada orang yang dengan lantang membela tuhan, maka ada kelompok yang juga dengan lantang menanyakan “Membela Tuhan, Tuhan yang Mana?”.
Judul : TUHAN TIDAK PERLU DEIBELA
Penulis : Abdurrahman Wahid
Penerbit : IRCiSoD
Cetakan : I, Mei 2018
Tebal : 44+316 hal
ISBN : 978-602-7696-51-8