Memikirkan Kata, Memikirkan Makna

Buku pertama yang membuat saya suka membaca adalah buku bersampul kuning dengan gambar anak laki-laki dan Bapak Ibu yang sedang berada di depan Ka’bah. Buku tersebut kertasnya sudah menguning, mungkin tebalnya sekitar 150 halaman. Juga ilustrasinya kurang bisa dipandang untuk zaman sekarang. Namun gambaran tersebut begitu mengena bagi saya, buku tersebut menjadikan saya gemar membaca sampai saat ini, kurang lebih judulnya “Naik Haji Bersama Ayah Ibu”.

Pengalaman kecil saya terhadap buku tersebut bukan karena ilustrasi yang alakadarnya, namun ada hal lebih yang membuat saya mencintai sesuatu bernama kata-kata. Dalam buku cerita anak tersebut begitu membuat saya seolah iri, ingin merasakan apa yang dialami olehnya, naik haji bersama kedua orang tuanya diusia yang begitu muda. Dan yang membekas tentu adalah kata-kata yang ditulisnya.

Bertahun kemudian saya banyak membaca karya-karya terbitan balai pustaka seperti, Salah Asuhan, Layar Terkembang, Siti Nurbaya, Atheis dan karya lainnya, tentu dengan untaian kalimat yang berbeda-beda dengan ciri khas masing-masing penulis. Namun lagi-lagi setiap selesai membaca buku-buku tersebut selalu ada hal yang saya pikirkan, “kenapa orang begitu lihai menulis kalimat, dan bisa melahirkan begitu banyak kata-kata yang indah dan mendalam, bahkan sangat bisa direnungkan”.

Semasa Madrasah Aliyah saya sering mengunjungi perpustakaan daerah, dimana jaraknya sangat dekat dengan sekolah saya, tentu menjadikan saya sangat semangat menambah referensi bacaan, bahkan bisa dibilang referensi bacaan saya meningkat, dari yang semula menggemari fiksi mulai sering membaca buku-buku non fiksi. Biografi, Traveling dan lainnya. Saya merasakan hal yang kurang lebih sama, bahwa kalimat yang tertulis dalam setiap buku memiliki kata-kata yang membuat saya berfikir dan merenungkan setelah membaca. Dari Tulisan Cindy Adams dalam Biografi Soekarno, Eric Weiner dalam Geography of Bliss dan lainnya.

Bahkan semakin bertambahnya interaksi saya dengan orang-orang yang suka membaca buku, saya mulai berkenalan dengan nama-nama yang selama ini jarang saya ketahui. Seperti Pramoedya Ananta Toer, Ahmad Tohari, Putu Wijaya, Sapardi Djoko Damono, Joko Pinurbo, NH Dini, Seno Gumira Ajidarma, Agus Noor berserta karya-karya mereka yang memiliki ciri khasnya masing-masing dengan kalimat yang indah yang terangkai dari kata-kata yang mereka tulis.

Bahkan kata-kata yang saya baca juga mampu menyedot saya masuk dalam dunia mereka. Leila S Chudori dalam novel Pulang merangkai kata-kata yang memiliki ruh, setiap huruf bergandengan menjalin menjadi kata-kata dan membentuk kesatuan sebagai kalimat. Novel tersebut mampu menguras emosi saya sebagai pembaca. Terbang dalam dunia yang diciptakan oleh penulisnya. Bahkan banyak juga karya terjemahan yang tak kalah bagus.

My Name is Red Orhan Pamuk membuat saya menikmati kata demi kata yang dituliskan. Seratus Tahun Kesunyian dari Gabriel Garcia Marquez memberikan saya imajinasi akan sebuah tempat, manusia, juga kehidupan yang bahkan tak pernah saya bayangkan sebelumnya. Juga Han Kang dalam Vegetarian membuat saya kagum, betapa kata-kata yang ditulisnya bisa menggambarkan bahwa kondisi manusia bisa dituliskan menjadi kisah yang sangat memikat.

Selama ini saya sudah membaca banyak buku, dari buku yang dipandang remeh kebanyakan orang, sampai buku berat yang bahkan melihatnya saja membuat mata lelah. Saat Najwa Shihab mengatakan “cukup satu buku untuk membuatmu jatuh cinta, maka carilah” dan saya kira saya sudah mendapatkan buku tersebut, dari pengalaman saya pertama mencintai buku. Namun disinilah hal itu bermula, dan mampu menjawab pertanyaan “kenapa kita memikirkan kata-kata?”

Kata-kata adalah wujud pikiran yang terpendam, ia bisa menjadi alat untuk merubah peradaban. Banyak hal yang dilakukan untuk mengekspresikan kata-kata menjadi media penyampai informasi. Ada yang mengekspresikan dengan menulis, dengan bermacam huruf dan bahasa, bahkan ada pula yang mengekspresikan kata-kata lewat gambar. Kata-kata menjadi sesuatu yang ajaib kala ia telah tersampaikan dengan media yang bisa mewakilinya.

Lewat gambar, kata-kata bisa berupa rangkaian cerita bersambung seperti huruf hieroglif, atau tertuang dalam kanvas oleh seorang pelukis. Lewat tulisan kata-kata bisa memiliki banyak makna, bahkan bisa ungkapan kasih sayang, aspirasi, kekecewaan, bahkan perlawanan. Lewat tulisan beberapa penulis mereka mengekspresikan kata-kata dalam perlawanan dengan pena yang mereka tuliskan. Bahkan kata-kata juga bisa memiliki makna dalam suasana senyap, lewat gerak tubuh dan ekspresi wajah, puisi misalnya. “Terkadang puisi itu lebih bisa berbicara kepada kita ketika ia disenyapkan, ketika ia telah beralih wahana dalam bentuk gerak sunyi dan cahaya makna roh puisi itu mungkin lebih kelihatan, karena ia dibebaskan dari kegaduhkan kata-kata”, begitu tutur Joko Pinurbo.

Begitulah kata-kata, selalu mempunyai ruh dari barisan huruf yang berpilin membentuk makna. Ia bisa hidup tatkala makna yang disampaikan dirasakan oleh penikmat kata-kata, juga bisa mati tatkala kata-kata yang terbentuk kehilangan daya dari rangkaian huruf yang gagal terungkap dengan baik. Setiap kata melalui perjalanan jauh untuk bisa membentuk makna, setiap kata melesat membentuk makna dalam setiap torehan yang dibentuk, dan kata-kata selalu menuntut untuk dicari maknanya.

Artikel
Ngopi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Fill out this field
Fill out this field
Please enter a valid email address.
You need to agree with the terms to proceed

Rekomendasi
Populer This Month
Populer
Direktori