Sebagai organisasi Islam dengan masa terbesar di dunia, menjadikan Nahdlatul Ulama magnet tersendiri bagi banyak kalangan. Tak terkecuali dalam berbagai situasi politik yang ada dinegeri ini. Strukturnya yang kuat dari tingkatan nasional hingga tingkatan terbawah di dusun-dusun dan perkampungan, bahkan kini Nahdatul Ulama setidaknya telah memiliki kepengurusan di 36 negara, menjadikan tarikan-tarikan kepada Nahdlatul Ulama juga terjadi di berbagai lapisan kontestasi. Mulai dari Pilihan Presiden, Pilihan Gubernur hingga Pilihan Bupati. Yang perlu menjadi catatan, sejak awal berdirinya Nahdlatul Ulama merupakan organisasi keagamaan dan sosial kemasyarakatan (jam’iyyah diniyyah ijtima’iyyah), bukan organisasi politik dengan orientasi kekuasaan. Namun demikian, bukan berarti Nahdlatul Ulama tidak berpolitik sama sekali.
Pada Rapat Pleno PBNU tanggal 6-8 September 2013 di Pondok Pesantren UNSIQ Al-Asy’ariyah Kalibeber, Wonosobo, Rais ‘Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) waktu itu DR. KH. M. A. Sahal Mahfudh menyampaikan pidato yang sangat baik.
Sebagaimana telah dimaklumi bersama, NU merupakan Jam’iyyah Diniyyah Ijtima’iyyah (organisasi keagamaan yang bersifat sosial). Sebagai organisasi keagamaan Islam, tugas utama NU adalah menjaga, membentengi, mengembangkan dan melestarikan ajaran Islam menurut pemahaman Ahlussunah Wal jama’ah di bumi nusantara pada khususnya dan di seluruh bumi Allah pada umumnya. Tugas ini tidaklah sederhana, di tengah-tengah era keterbukaan yang memberi peluang masuknya aliran-aliran dan kelompok-kelompok keagamaan yang cenderung memanfaatkan kebebasan untuk mencaci maki dan menyesat-nyesatkan, bahkan menkafir-kafirkan terhadap pihak lain yang berbeda pemahaman keagamaan dengan dirinya. Padahal seharusnyalah era keterbukaan dan kebebasan membuat setiap kelompok semakin memantapkan sikap toleran dalam menyikapi perbedaan.
Masih menurut Kyai Sahal, Politik kekuasaan yang lazim disebut politik tingkat rendah (low politics/siyasah safilah) adalah porsi partai politik dan warga negara, termasuk warga NU secara perseorangan. Sedangkan NU sebagai lembaga, harus steril dari politik semacam itu. Kepedulian NU terhadap politik diwujudkan dalam peran politik tingkat tinggi (high politics/siyasah ‘aliyah samiyah), yakni politik kebangsaan, kerakyatan dan etika berpolitik. Politik kebangsaan berarti NU harus istiqomah dan proaktif mempertahankan NKRI sebagai wujud final negara bagi bangsa Indonesia. Politik kerakyatan antara lain bermakna NU harus aktif memberikan penyadaran tentang hak-hak dan kewajiban rakyat, melindungi dan membela mereka dari perlakuan sewenang-wenang dari pihak manapun. Etika berpolitik harus selalu ditanamkan NU kepada kader dan warganya pada khususnya, dan masyarakat serta bangsa pada umumnya, agar berlangsung kehidupan politik yang santun dan bermoral yang tidak menghalalkan segala cara.
Dengan menjaga NU untuk bergerak pada tataran politik tingkat tinggi inilah, jalinan persaudaraan di lingkungan warga NU dapat terpelihara. Sebaliknya, manakala NU secara kelembagaan telah diseret ke pusaran politik praktis, persaudaraan dilingkungan warga NU akan tercabik-cabik, karenanya.
Sejarah memang mencatat bahwa Nahdlatul Ulama pernah menjadi partai politik pada tahun 1952, namun sejarah juga mencatat bahwa NU telah bersungguh-sungguh dari mukatamar ke muktamar merealisasikan gagasannya untuk kembali ke Khittah 1926. Tahun 1971 seruan Khittah sempat muncul namun kemudian terhenti karena dianggap sebagai kemunduran secara historis. Rais Aam saat itu, KH Abdul Wahab Chasbullah menyampaikan bahwa kembali ke khittah berarti kembali pada semangat perjuangan 1926, saat awal NU didirikan, bukan kembali secara harfiah. Tahun 1979 saat diselenggarakannya Muktamar NU Ke 26 di Semarang, gagasan Khittah ini kembali mentah. Salah satu sebabnya karena NU sedang giat-giatnya memperjuangkan aspirasi rakyat dari represi Orde Baru lewat PPP.
Mengutip dari NU Online, Misi kembali ke khittah kembali nyaring ketika para ulama berkeliling mengonsolidasikan NU. Bersamaan dengan langkah para kiai tersebut, KH Achmad Siddiq menyusun tulisan komprehensif yang berisi tentang pokok-pokok pikiran tentang pemulihan Khittah NU 1926. Tulisan ini dirembug secara terbatas dengan para ulama sepuh di kediaman KH Masykur di Jakarta. Secara garis besar, pedoman berpolitik warga NU tertuang dalam naskah Khittah 1926 yang dimulai dari Mukaddimah hingga Khotimah yang terdiri dari sembilan penjelasan. Namun, untuk mengoperasionalkan naskah khittah hasil Muktamar ke-27 NU 1984 tersebut, Muktamar ke-28 NU tahun 1989 di Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta menyusun sembilan pedoman berpolitik bagi warga NU.
Dari Kliping Koran yang penulis dapatkan dari K. Yusuf Irianto, S.H., penulis menemukan satu tulisan menarik dengan judul Sembilan Pandangan Dan Penegasan Politik NU yang diterbitkan oleh Suara Karya pada tahun 1989, artinya tulisan ini diterbitkan pada hari-hari penyelenggaraan Muktamar yang ke 28 NU di Yogyakarta.
Kehangatan yang kian memuncak Muktamar Ke-28 NU mulai terasa Senin kemarin, baik dalam Komisi yang membicarakan “siapa pucuk pimpinan NU” maupun komisi yang membicarakan sikap politik NU. Sidang Komisi IV Muktamar ke 28 NU kemarin tegas menyatakan bahwa NU tidak dan tidak akan menjadi organisasi sosial keagamaan (Jamiyah) yang menjalankan politik praktis.
Suara Karya kemudian membeberkan 9 butir pandangan dan penegasan NU tentang politik hasil sidang di Komisi IV. Berikut sembilan pedoman berpolitik warga NU hasil Muktamar ke-28 NU tahun 1989 di Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak, Yogyakarta:
Ketika NU Kembali ke Khittah 1926 di mana NU tidak lagi menjadi partai politik atau bagian dari partai politik dan tidak terikat oleh partai politik manapun, dengan sendirinya masyarakat yang selama ini cara berpolitiknya ditentukan oleh pimpinan pusat organisasi mengalami banyak kebingungan.
Mengingat adanya perubahan politik dari stelsel kelompok atau organisasi menjadi stelsel individual ini, NU merasa perlu memberi petunjuk agar warganya tetap menggunakan hak politik mereka secara benar dan bertangung jawab. Karena itulah, lima tahun setelah keputusan Muktamar Situbondo 1984, Muktamar NU tahun 1989 merumuskan pedoman berpolitik bagi warga Nahdliyin dengan menekankan akhlaqul karimah, baik berupa etika sosial maupun norma politik.
Dengan demikian keterlibatan warga NU dengan partai politik yang ada bersifat individual, tidak atas nama organisasi, karena NU telah kembali menjadi organisiasi sosial keagamaan yang mengurusi masalah sosial, pendidikan dan dakwah. Namun demikian NU mengimbau pada warganya agar melakukan politik secara benar dan bertanggung jawab dan dengan citacita menegakkan akhlaqul karimah dan dijalankan dengan proses yang selalu berpegang pada prinsi pakhlaqul karimah.
Mengingat pentingnya politik sebagai sebuah sarana perjuangan, di samping sarana sosial dan pendiikan, maka warga Nahdliyin diberikan tuntunan yang mudah dipahami dan sekaligus mudah dilaksanakan. Melalui sembilan pedoman berpolitik warga NU ini diharapkan kaum Nahdliyin bisa menjadi teladan dalam menjalankan politik, di mana norma dan etika selalu dikedepankan.
Walaupun untuk mencapai cita-cita itu penuh halangan, terutama dengan tumbuhnya pragmatisme dewasa ini. Namun demikian prinsip perlu ditegakkan walaupun mungkin dianggap tidak relevan, tetapi ini merupakan misi abadi yang harus ditegakkan bersama dengan menegakkan agama, karena warga Nahdliyin telah berikrar untuk mengintegrasikan perjuangannya dalam perjuangan bangsa Indonesia secara keseluruhan.
Dengan mempertimbangkan arah pembangunan politik yang dicanangkan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), sebagai usaha untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan diarahkan untuk lebih memantapkan perwujudan Demokrasi Pancasila, Muktamar merasa perlu memberikan pedoman kepada warga Nahdlatul Ulama yang menggunakan hak-hak politiknya, agar ikut mengembangkan budaya politik yang sehat dan bertanggung jawab agar dapat ikut serta menumbuhkan sikap hidup yang demokratis, konstitusional serta membangun mekanisme musyawarah mufakat dalam memecahkan setiap masalah yang dihadapi bersama, sebagai berikut ini:
1. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama mengandung arti keterlibatan warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara menyeluruh sesuai dengan Pancasila dan UUD1945.
2. Politik bagi Nahdlatul Ulama adalah politik yang berwawasan kebangsaan dan menuju integrasi bangsa dengan langkah-langkah yang senantiasa menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan untuk mencapai cita-cita bersama, yaitu terwujudnya mamsyarakat adil dan makmur lahir dan batin dan dilakukan sebagai amal ibadah menuju kebahagiaan di dunia dan kehidupan di akhirat.
3. Politik bagi Nahdlatul Ulama adalah pengembanagan nilai-nilai kemerdekaaan yang hakiki dan demokratis, mendidik kedewasaan bangsa untuk menyadari hak, kewajiban dan tanggung jawab untuk mencapai kemaslahatan bersama.
4. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan moral, etika dan budaya yang berketuhanan Yang Maha Esa, berperikemanusiaan yang adil dan beradab, menjunjung tinggi persatuan Indonesia, berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijakasanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
5. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan kejujuran nurani dan moral agama, konstitusional, adil sesuai dengan peraturan dan norma-norma yang disepakati, serta dapat mengembangkan mekanisme musyawarah dalam memecahkan masalah bersama.Â
6. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama dilakukan untuk memperkokoh konsensus-konsensus nasional, dan dilaksanakan sesuai dengan akhlakul karimah sebagai pengamalan ajaran Islam Ahlussunnah wal Jamaah.
7. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama, dengan dalih apapun tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan kepentingan bersama dan memecahbelah persatuan.
8. Perbedan pandangan di antara aspirasi-aspirasi politik warga Nahdlatul Ulama harus tetap berjalan dalam suasana persaudaraan, tawadlu’ dan saling menghargai satu sama lain, sehingga dalam berpolitik itu tetap dijaga persatuan dan kesatuan di lingkungan Nahdlatul Ulama.
9. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama menuntut adanya komunikasi kemasyarakatan timbal balik dalam pembangunan nasional untuk menciptakan iklim yang memungkinkan perkembangan organisiasi kemasyarakatan yang lebih mandiri dan mampu melaksanakan fungsinya sebagai sarana masyarakat untuk berserikat, menyalurkan aspirasi serta berpartisipasi dalam pembangunan.
Selain 9 pandangan di atas, Muktamar Ke-28 NU ini juga menghasilkan beberapa rekomendasi. Misalnya saja dalam urusan Agama dan Pembangunan. Muktamar NU menekankan perlunya pembudayaan sikap tasamuh yang berarti lapang dada di tengah-tengah kemungkinan perbedaan pandangan dalam masalah keagamaan dan kemasyarakatan. Tasamuh atau sikap toleran yang membudaya dalam masyarakat akan menjadi penangkal bagi ekstrimis dan mampu menumbuhkan kesetiakawanan, sikap saling menghormati, kejujuran dan ketulusan untuk bersama-sama membina bangsa dan tanah air. Selain itu Muktamar juga memberikan rekomendasi-rekomendasi terkait pentingnya kerjasama ulama dan umaro, penguatan lembaga pendidikan di lingkungan NU, persan serta Indonesia untuk menjembatani konflik antara negeri-negeri muslim dan yang terakhir adalah seruan untuk memperkuat ukhuwah, baik dalam konteks persaudaraan sesama muslim (ukhuwah islamiyah), persatuan nasional (ukhuwah wathoniyah) maupun solidaritas kemanusiaan (ukhuwah basariyah). NU memandang ukhuwah Islamiyah dan persatuan nasional merupakan dua sikap yang saling membutuhkan dan saling mendukung, dan tidak dipertentangkan satu dengan yang lainnya.
Semoga bermanfaat. Syruputtt.
1 Comment. Leave new
[…] Pernah diterbitkan dengan judul sama di https://wagers.id/mbahdoyok/9-pandangan-dan-penegasan-politik-nu/ […]