Bulan puasa memang berbeda dari bulan-bulan yang lain. Tidak hanya masjid-masjid yang ramai, tapi juga titik-titik tongkrongan warga. Begitupun tempat Bejo biasa mangkal sehari-hari. Pada bulan puasa ini jam tutup tongkrongan warung sembako tempat ia biasa mangkal itu mengalami penyesuaian. Biasanya warung itu tutup jam 12 tepat. Telah ada semacam kesepakatan tak tertulis untuk sama-sama mengakhiri segala aktifitas di tempat itu jika Lagu Kebangsaan sudah berkumandang. Ya, Muhsin si pemilik warung selalu memutar radio keras-keras untuk menemani malam, sekaligus sebagai alarm untuk mengingatkan bahwa se asyik-asyiknya nongkrong tetap ada batasannya, ya… lewat lagu kebangsaan itu. Sungguh sangat nasionalis.
Bulan puasa ini, peraturan jam 12-an itu mengalami kelonggaran. Kini, jamaah tongkrongan biasa bubaran menjelang sahur. Dititik ini, Bejo kesulitan untuk merasa bahagia atau tidak. Pasalnya, lantunan gugah-gugah sahur jauh lebih agamis ketimbang lagu kebangsaan yang biasa ia dengar. Bisa jadi ini tanda-tanda baik karena masyarakat sudah mulai terbuka hatinya untuk merasakan nikmatnya wewangian surga. Tapi jika terlalu agamis ia takut dikira jadi warga negara yang tidak nasionalis. Atau apakah lantas jika terlalu nasionalis jadi tidak agamis? Begitupun sebaliknya? “Ah, sudah terserah Muhsin mau pake lagu kebangsaan, mau pake gugah-gugah sahur atau apapun aku tidak akan menghambat keputusannya. Yang penting aku bisa ikutan nongkrong”, gumam bejo berdiplomasi kepada kekacauan pikirannya sendiri.
Nongkrong, dari sudut pandang beberapa orang mungkin menjadi kegiatan yang tidak bermanfaat, melelahkan dan buang-buang waktu. Apalagi untuk mereka yang keesokan harinya mesti sibuk bekerja. Semakin malam nongkrong, semakin lemas keesokan paginya. Berbeda dengan Bejo, ia melihat nongkrong sebagai salah satu aktifitas yang paling menjanjikan.
“Ya, sebagai wong ndeso asli, sudah sepatutnya berbaur. Nanti ndak dikira egois”, jawab Bejo diplomatis kepada Karim.
“Pengennya aku sih gitu, tapi urusan dalam negeri kadang tidak memungkinkan, Jo”, respon Karim.
“Urusan dalam negeri apa tho yang lebih penting dari bermasyarakat itu, Rim?, kamu ini lho nggayane pol-polan”, ejek Bejo.
“Lho, apa lagi kalau bukan ijin Ibu Negara. Niatnya sih baik, bermasyarakat, tapi kalau jadi penyebab cek-cok dengan ibu negara, kemudian terekspos netizen-desa, jadi sama runyamnya tho, bahkan bisa lebih, hahaha”, bela Karim.
Bejo manggut-manggut saja. Ia menyadari, memang kalau sudah menikah segala keputusan mesti di musyawarahkan. Semuanya jadi tidak sederhana lagi. Urusan kepedasan sambal saja bisa jadi bahan perdebatan. Untungnya istri Bejo dulu mantan aktivis, yang sedikit-banyak sudah tahu kebutuhan bermasyarakat. Jadi Bejo bisa lebih leluasa untuk melakukan ibadah nongkrong itu setiap malam.
Berbaur dalam tongkrongan memberikan banyak hal untuk Bejo. Disamping ibu-ibu, bapak-bapak ternyata juga punya bakat untuk bertukar informasi intelijen. Sebagai santri yang sedang menyamar, Bejo sering menyerap berbagai informasi yang ada di tengah-tengah masyarakat. Maka tak aneh jika Bejo sudah terbiasa dengan kalimat juancuk dengan berbagai macam versinya yang beredar di tengah masyarakat. Bagi Bejo pergaulan tidak bisa dibatasi hanya dari norma perjancukan itu.
Di tengah kebiasaan masyarakat yang kadang masih nggateli seperti senang misuh, nggosip dan lain-lain Bejo menemukan banyak hal baru, misalnya saja mengenai obrolan lomba pildacil di salah satu tv sawasta beberapa saat yang lalu. Meski kadang terlihat tidak terlalu dalam mengetahui agama, toh masyarakat masih cukup memberikan atensi pada acara hiburan-agamis seperti itu.
“Luar biasa, masih tujuh tahun tapi sudah hafal 5 juz”, ungkap Mardi kepada Bejo.
“Iya, kalau lihat anak-anak jaman sekarang di televisi itu, cuma bisa ikut seneng. Pastilah dengan Pendidikan yang luar biasa dari orang tuanya”, tambah Suleman.
Perasaan kagum pada penguasaan ilmu agama itu sebenarnya sudah ada ditengah-tengah masyarakat. Kadang sebagai masyarakat biasa, orang seperti Mardi dan Suleman ini cuma takut keliru saja jika harus dalam-dalam membahas soal ilmu agama. Juga tidak berani berharap muluk-muluk anak mereka akan bisa seperti itu.
“Pokoknya ikut senang saja melihat generasi muda seperti itu”, tambah Suleman.
Dari obrolan itu Bejo jadi tahu bahwa mereka memiliki ‘something’ terhadap hal yang berbau agama.
Atau di malam yang lain, Ketika Bejo bermain kartu Bersama Dono. Dengan berapi-api Dono bercerita tentang seorang musafir yang pernah mampir ke warung es kelapa mudanya.
“Pokoknya setiap si musafir ini datang es ku langsung laris manis. Ajaib. Tongkat dan tasbihnya unik banget, kemarin aku diperbolehkan memegangnya sebentar”, cerita Dono berapi-api.
“Musafir dari mana to itu, Don?”, tanya Bejo.
“Dari Jawa Timur, setiap setahun sekali jalan kaki keliling jawa. Jawa Timur memang gudangnya ulama dan orang-orang sakti, ya?”, kata Dono.
“Ia juga menyampaikan cerita unik kepadaku”, sambung Dono. “Pernah suatu Ketika seorang Kyai sedang menemani warga untuk bermain kartu, dan ini pakai uang lho ya semacam perjudian gitu lah. Maklum di beberapa daerah itu kan masih terjadi”
“Terus…”, tanya Bejo memperhatikan.
“Nah, saat sedang asyik-asyiknya main kartu tiba-tiba polisi melakukan penggerebakan ke tempat itu, tapi anehnya tiba-tiba semua kartu itu berubah menjadi buku Yasin. Ini salah satu cerita yang aku dapat dari dia. Wes tho, Ulama itu memang sakti-sakti”, cerita Dono masih dengan berapi-rapi. Dono tidak terlalu mempermasalahkan perubahan kartu itu logis atau tidak, atau bahkan cerita itu benar atau tidak. Seorang musafir berjubah yang tempo hari datang kerumahnya ia anggap sebagai pembawa pesan yang valid dan dapat dipercaya.
“Ya… itu kalau kyainya sakti, Don, kalau yang nggak sakti malah ikut ketagihan bermain judi. Hahaha”, gurau Bejo.
“Ya memang semuanya penuh resiko, tapi kalau para ulama tidak mau turun ke tempat seperti ini mau gimana coba? Ajaibnya, setelah kejadian itu para pemain judi itu justru penasaran dan belajar kitab Yasin kepada sang kyai sampai ketemu jalan tobatnya. Ini namanya kyai sakti markotop top top”, lanjut Dono,
Dari dua obrolan itu Bejo makin yakin sebenarnya masyarakat masih sangat menghormati keberadaan kyai. Kadang justru antara kyainya sendiri yang tidak bisa saling menghormati dan membingungkan masyarakat sehingga masyarakat membuang rasa hormatnya. Karena bingung dan merasa ruwet.
Berbaur dengan masyarakat, seperti yang dilakukan Bejo memang memiliki tantangannya sendiri. Tidak hanya antar negara yang memiliki aturan dan ideologinya sendiri, setiap tempat nongkrong pun punya pakem sendiri, bahkan dalam urusan bermain kartu.
“Ini hitung-hitungannya, mau hitungan besar apa kecil?”, tanya Bejo setiap mulai bermain kartu di tempat yang baru. Hal ini harus ia pastikan terlebih dahulu karena menyangkut urusan strategi yang akan dipakai nantinya selama permainan. Hitungan yang dimaksud adalah satuan nilai dari setiap jenis kartu pada permainan kartu remi. Untuk hitungan kecil, kartu angka bernilai satu, kartu huruf bernilai dua dan As bernilai tiga. Sedangakan dalam hitungan besar, kartu angka bernilai lima, kartu huruf bernilai sepuluh dan kartu As bernilai lima belas.
“Lalu, sebelum satu putaran sudah boleh ambil dari kartu buangan belum”, tanya Bejo lagi memastikan.
“Untuk aturan di RT 2 ini, sudah jadi keputusan pak RT, diperbolehkan”, jawab Karim.
“Lalu ini jokernya, joker asli atau joker bantingan?”, tanya Bejo lagi.
“Joker bantingan aja biar lebih menarik”, jawab Dono.
“Nah, aku mau tanya lagi. Untuk bom-kartu harus memberi tanda dahulu apa ndak?”, lagi-lagi Bejo mengajukan pertanyaan.
“Haduhhhh, main ya main aja. Jangan kebanyakan nanya. Makanya observasi dulu lihat yang lain jangan langsung sok-sokan ambil bagian”, jawab Karim sedikit emosi karena kebetulan malam itu, sebelum Bejo datang ia sudah kalah berkali-kali.
“Wah, ya bukan begitu, Rim. Aku bertanya hanya untuk memastikan. Ini soal kehormatan, je. Mosok ya susah-susah ijin istri untuk keluar ke tongkrongan hanya untuk membawa pulang kekalahan. Hahaha”, ejek Bejo.
“Ndasmuuu, djo”, jawab Karim disambut gelak tawa orang-orang di tongkrongan.
Seperti banyak hal di dalam kehidupan, nongkrong juga membutuhkan ilmu pengetahuan, dan juga seni. Untuk berbaur seseorang mesti memiliki kecerdasan mengenali ‘cara kerja’ suatu tongkrongan. Mengenali karakter orang-orangnya. Mengenali aturan-aturannya. Yang tertulis dan yang tidak tertulis. Juga yang tidak kalah penting mengenali manfaat-mudaharatnya. Kalau bisa observasi dulu, biar tidak ngisin-ngisini.
Dalam salah satu pelajaran nahwu dulu di pesantren, gurunya pernah berpesan, sebuah kalam (kalimat dalam Bahasa Arab) hanya akan bermanfaat jika memenuhi beberapa unsur, satu diantaranya adalah Wadho’. Artinya kalimat (dalam bahasa arab) dianggap sah sebagai kalimat jika menggunakan bahasa Arab, bukan bahasa Indonesia, Prancis, Rusia atau Amerika.
“Pun begitu, kalau bicara bahasa Prancis mestilah menggunakan gramatika Bahasa Prancis. Bicara bahasa jawa juga dengan aturan-aturan pada Bahasa Jawa. Ojo sak karepe dewe”, pesan gurunya waktu itu.
Ia sadar pesan gurunya itu menjadi bekal yang sangat penting dalam menjalani kehidupan, termasuk petualangannya dari satu angkruk ke angkruk yang lain. Mesti membutuhkan banyak ilmu dan kesabaran agar benar-benar bisa berbaur. Lantas setelah berbaur, barulah seseorang akan diterima dalam suatu komunitas dan dianggap menjadi teman bahkan saudara. Apalagi kalau Bejo menjadi raja kartu di dalam tongkrongan itu, barangkali ia akan menjadi primadona baru, sehingga setiap perkataannya mulai dari yang bermutu dan yang tidak bermutu akan didengarkan. Kalau sudah sampai pada titik ini, tinggal pandai-pandainya Bejo menyisipkan sedikit demi sedikit ilmu agama yang dapat mencerahkan masyarakat.
Jika bisa istiqomah, bisa-bisa Bejo akan diberi gelar oleh jamaah tongkrongan sebagai “Kyai Chow Yun Fat”. Kyai raja kartu yang penuh hikmah. Sungguh keren kedengarannya.