Cerita Pendek: Purba

“Tulisan sebentar lagi akan menjadi makhluk purbakala”, begitulah fatwa yang temanku Karim sampaikan ketika aku kembali mengajaknya menulis sebuah buku.

“Memangnya, siapa lagi yang mau membaca di era kemajuan zaman seperti ini, yang mereka sebut for poin zero, kembali ke titik nol”, selorohnya memberikan pelesetan tentang istilah 4.0.

“Jika memang keadaannya seperti itu, bukankah barang purbakala itu selalu menjadi sesuatu yang menarik. Semakin langka semakin mahal. Semakin purba semakin dicari”, sanggahku sembari mengutak-atik pesan whatsapp yang kluntang-klunting sedari tadi.

“Tepat sekali! Tapi kamu coba fikirkan lagi, berapa persen dari masyarakat kita yang mampu membeli barang langka itu?”, tanyanya.

Lantas aku teringat, tempo hari saudaraku membeli sebuah sepeda tua dengan harga tiga ratus ribuan dari tentangga desanya. Dipoleslah sepeda itu kepada tukang semir sepeda dengan ongkos seratus ribu rupiah. Aku pinjam sepedanya untuk berkeliling kota dan seseorang mencegatku untuk menawar sepeda itu belasan juta rupiah. Jika si pemilik sepeda tahu harga barang kuno itu, mungkin ia tak rela melepasnya dengan harga tiga ratus ribuan. Lantas, kalau kemudian ia tahu apakah ia mampu membelinya kembali setelah harganya naik berlipat-lipat. “Benar juga, Rim, apa yang kamu sampaikan. La wong mereka itu kadang tahu saja tidak.”

“Hahaha. Alhamdulillah kalau begitu. Aku pikir kamu akan menyanggahnya agar diskusi kita semakin menarik. Yang penting pokoknya beda dulu”, ujarnya sambil menyulut rokok yang sedari tadi hanya dipijat-pijatnya secara pelan.

“Sebenarnya, andaikata kamu menulis pun tidak apa-apa. Yang aku fikirkan adalah bagaimana agar tulisan itu tidak berjarak dengan masyarakat. Apabila ia menjadi barang yang langka, bagaimana caranya agar ia tidak cuma dinikmati oleh segelintir orang saja.”, lanjut Karim disertai sedotan pertama ke rokok kereteknya. Sementara itu aku mulai meninggalkan hp ku dan meletakannya di atas dipan. Mendengarkan Karim dengan seksama.

“Banyak orang yang bilang, yang kaya makin kaya, yang miskin makin ndlosor, hahaha. Tapi tidakkah kamu lihat bahwa yang bependidikan pun semakin berpendidikan, dan sebagian lagi yang jauh dari itu, semakin jauh dan ambyar. Masyarakat sendiri kini di lena-kan dengan barang yang kamu pencat-pencet terus dari tadi itu. Ber haha-hihi menonton video gadis spg yang pinggulnya mampu merontokkan iman para ustadz. Dan… masyarakat sudah cukup bahagia dengan itu. Lupa terhadap masalah-masalahnya sendiri, apalagi masalah orang lain”, Karim melanjutkan.

“Lantas salah siapakah ini kalau bukan salah masyarakat sendiri yang cukup puas dengan kehidupannya yang ambyar itu?”, tanyaku.

“Seseorang yang belum tahu itu tidak pernah salah. Dosa orang bodoh itu tidak sebesar dosa orang yang pintar. Mereka yang belum tahu hanyalah korban dari lingkungan yang diciptakan oleh mereka yang mampu menciptakannya, yang tahu seluk-beluknya, yang tahu segalanya”, beber Karim.

“Jika begitu, berarti ini salah pemerintah, ehm… atau salah dari mereka yang berkuasa hari ini”, aku menyanggahnya.

“Bagaimana caramu menyalahkan orang-orang yang jauh di atas sana. Apa mereka mendengarmu? Memangnya kamu stafsus yang akan dimintai masukan. Setahuku stafsus itu saja belum tentu diangkat untuk didengarkan masukannya, hahaha.”, jawab Karim sembari tertawa lebar hingga tanpa sengaja rokoknya terlepas dari tangannya dan terlempar ke arahku.

“Maaf, maafkan aku Bro”, ia ambil rokok yang jatuh di sampingku.

“Aduh aku jadi puyeng, jika bukan salah masyarakat ataupun salah pemerintah, bisa jadi ini salahku”, aku melanjutkan topik pembicaraan.

“Kamu yakin di tengah masalahmu yang sudah sedemikian banyak itu, masih ingin memikul satu lagi masalah yang kamu saja belum yakin bahwa itu masalahmu?”, tanya Karim.

“Tapi kalau masalah itu dibiarkan tak bertuan, kapan akan selesainya? Apa ya Gusti Allah yang harus turun tangan langsung untuk membereskannya. Kun fayakun. Cling, Beres”

“Eitsss, kamu pikir Gusti Allah selama ini diam saja gitu? Tidak ada satupun kejadian di dunia ini yang lepas dari rencananya. Tapi apa gunanya manusia diciptakan menjadi makhluk paling sempurna dilengkapi dengan akal dan budi kalau hanya untuk rebahan dan menunggu laporan dari Gusti Allah bahwa semuanya telah dibereskan”, Karim menatapku tajam.

“Ya… tidak begitu juga, dan tatapanmu itu, seakan-akan mengajak aku untuk berfikir jauh lebih dalam. Ah obrolan ini semakin membuat otakku pusing, aku menyempatkan kesini untuk mengajakmu menulis. Atau minimal pikirku, kamu bisa memberikan semangat kepadaku agar aku bergelora untuk kembali menulis.”, protesku.

“Aku tidak pernah melarangmu untuk menulis, aku hanya bilang bahwa tulisan sebentar lagi akan menjadi barang purbakala”, jawab Karim.

“Dan… jangan sampai barang purbakala itu hanya dinikmati oleh sebagian orang dan jauh dari masyarakat”, potongku menirukannya dengan sedikit ketus. Sementara itu Karim hanya tertawa kemudian melanjutkan isapan rokoknya dengan nikmat tanpa mempedulikan otakku yang kini berfikir lebih keras.

Sastra
Artikel, Featured, Ngopi, pilihan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Fill out this field
Fill out this field
Please enter a valid email address.
You need to agree with the terms to proceed

Rekomendasi
Populer This Month
Populer
Direktori