Tidak ada yang lebih mengkhawatirkan di planet ini ketimbang hoax dan ujaran kebencian yang semakin membudaya di media sosial. Media sosial itu hoax, kalau gak hoax ya bukan media sosial. Mungkin begitu pikir Cebong dan sebagian teman-temannya. Saking putus asanya dengan media sosial ini, Cebong malah bisa menjerit-jerit ketika ditunjukkan wall facebook atau timeline twitter. Ini sungguhan!
Bahkan tidak cukup disitu. Karena saking banyaknya penyebutan anjing dan segerombolan hewan berkaki empat lain di media sosialnya, akhirnya Cebong memutuskan memperiksakan dirinya sendiri ke dokter hewan. Hasilnya? Cebong positif mengidap penyakit medsos-syndrom. Cebong semakin panik. Ini jelas-jelas penyakit menular yang belum ditemukan anti-biotik nya. Sementara itu, pesan yang ia terima di akhir pemeriksaan itu hanyalah: Pak Cebong, saya sarankan panjenengan untuk banyak-banyak minum air putih. Ha-lo?!
Karuan saja Cebong tidak puas. Ia ajak sahabat istimewanya yang bernama Kampret untuk makan di angkringan langganannya di jalan buntu. Memang hanya momen-momen di angkringan ini yang bisa sedikit menetralisir kecamuk di kepalanya. Angkringan ini sangat terkenal di kalangan penghayat kejombloan karena berada di tengah-tengah kawasan kos mahasiswi. Setiap sore Cebong dan Kampret bisa meng-audisi ratusan mahasiswi dari lintas madzhab, lintas ideologi hingga lintas gincu. Tapi toh nyatanya, meski ratusan mahasiswi setiap hari lalu lalang di angkringan ini, Cebong dan Kampret belum kunjung selamat dari kejombloan.
Wanita memang tidak ada yang sempurna, pikir Cebong. Padahal sempat ada seorang wanita yang ia mata-matai setiap hari. Ia bahkan hafal betul makanan yang biasa disantap wanita itu. Setiap hari senin wanita itu akan membeli tiga bungkus nasi tempe, dua geblek bakar di lengkapi dengan segelas teh susu. Sedangkan di hari selasa, si wanita memilih menu dua bungkus nasi teri, dua sendok sambal dilengkapi segelas es jeruk. Pastilah ia wanita yang sangat disiplin dan cocok untuk Cebong yang hidup sama sekali tak teratur. Apalagi wajahnya yang mirip luna maya ditunjang dengan body Aura Kasih sudah jelas langsung bikin Cebong mantap bukan kepalang. ‘Perfecto‘ pikirnya.
Sayangnya, suatu ketika Cebong dipaksa kecewa ketika menguping pembicaraan si wanita dengan temannya, “Pokoknya jeng, untuk urusan hijab aku hanya mau merk ini. Urusan bedak aku juga hanya mau merk ini. Ada sertifikasi halalnya, EM-U-I.”, terang si wanita mantab dengan logat ke-jakarta-jakarta-an. Mendengar omongan si wanita, Cebong terpaksa mengurungkan niatnya. Pertama, Cebong merasa ia dan wanita itu sangat berbeda baik dalam ranah pikiran bahkan ideologi. Yang kedua, Cebong tentu tak sanggup jika harus membelikan hijab dan bedak berstandar EM-U-I yang harganya tidak singkron dengan kondisi dompetnya.
Begitupun kampret, ia malah sudah menemukan wanita yang jelas-jelas satu visi, satu misi, satu tujuan, satu pemikiran, satu madzhab hingga ideologi. Malahan konon mereka nyantri di majelis yang sama. Ya, dengan ijin Google mereka nyasar ke website yang sama. Kampret termasuk orang yang anti pacaran. Ia cuma mau ta’aruf, tidak lebih. Maka dari itu, segala bentuk sms perhatiannya kepada si cewek dan lirikan nakalnya setiap sore itu ia sebut sebagai pra-ta’aruf. Namun, akhir kisah asmaranya juga tidak jauh berbeda dengan sahabatnya Cebong. Tiba-tiba saja si wanita menghilang tanpa memberikan kabar. Di titik ini, Kampret menyesal karena dulu tak sempat ia apel kerumahnya.
Nah, begitulah Cebong dan Kampret mengisi sore. Ber-Ikhtiar mencari pendamping hidup di angkringan jalan buntu. Si penjaga Angkringan sampai hafal betul dengan tingkah laku dan kebiasaan dua sahabat ini, lebih-lebih dengan catatan hutang mereka. Saking akrabnya si Penjaga Angkringan memberi mereka julukan Upin Ipin 4.0.
Namun rupanya, sebagai karib Kampret menyadari gurat kekalutan di wajah cebong. Sore ini Cebong agak berbeda dari biasanya. Lalu-lalang mahasiswi-mahasiswi itu tidak mampu membuat Cebong semangat bergerilya seperti biasanya. Karuan saja Kampret penasaran dan mengamati karibnya itu dengan intim.
“Pokoknya aku nggak mau percaya dengan dokter hewan kw itu”, tiba-tiba Cebong membuka percakapan. “Analisa yang ia berikan pasti bermuatan politis. Pokoknya aku nggak percaya”, imbuh Cebong dengan bibir monyong tidak karuan.
“Lho, ini kenapa kamu tiba tiba bawa Dokter Hewan, Bong?”, tanya Kampret.
“Lha itu, tadi pagi. Aku periksa ke dokter hewan dan dinyatakan mengidap medsos-syndrom. Mana cuma dikasih saran untuk minum air putih lagi”, terang Cebong.
“Sabar dulu, Bong. Mungkin saja dokter hewan itu benar. Lagian aku perhatikan akhir-akhir ini tingkah lakumu makin aneh. Ini aku baru saja baca berita tentang penyakitmu itu”, balas kampret sembari menghadapkan layar hpnya ke muka Cebong sehingga Cebong bisa membaca jelas-jelas judulnya: Warga Indonesia 99% Terjangkit Medsos-Syndrom, Salah Presiden!
“Waduh sudah pasti 1000 persen itu hoax. Mendingan kita gak usah berteman lagi kalau kamu percaya dengan berita itu. Saya doakan yang buat berita palsu itu terjangkit penyakit kutil tepat di pantatnya. Biar mereka tahu kalau duduk di pemerintahan itu gak nyaman. Ya, minimal saya doain mereka salah lipglosan pake minyak kayu putih. Biar nggak gampang nyinyir lagi. Nih mpret, baca berita yang ini”, Cebong gantian menghadapkan layar hpnya ke wajah kampret. “Nyohbaca, Penyakit Medsos-Syndrom Akal-Akalan, Pemerintah Larang Tagar #2019GantiPenyakit”
“Itu yang sudah pasti hoax!”, sergah kampret. “Saya berani jamin kalau pemerintah yang akal-akalan. Saya menuntut Tuhan langsung yang memberikan keadilan. Saya doakan doa mereka tidak akan bisa di kabulkan Tuhan”. Kali ini Kampret menarik kerah leher kaos Cebong. “Saya merasa didholimi. Doa orang yang ter-dholimi pasti dikabulkan. Hati-hati kamu, bong.”
“Eitssssssssss“, tiba-tiba pemilik Angkringan yang biasa dipanggil Pak Dhe itu ambil bagian mengenahi Cebong dan Kampret yang sudah hampir adu jotos. “Ingat. Warung Angkringan ini resmi di bawah naungan PBB. Angkringan ini adalah symbol perdamaian dunia. Jadi dilarang keras bagi semua penghuni Angkringan ini untuk saling hujat apalagi adu fisik. Apalagi sampeyan-sampeyan ini saya perhatikan nggak pesen makanan sama sekali.”
Cebong dan Kampret kompak nyengir. Sedetik kemudian mereka sadar planet bumi seakan berhenti berputar dan semua tatapan mahasiswi-mahasiswi unyuk di angkringan itu mengarah kepada mereka. Tentu saja tatapan yang penuh kejijikan alih-alih sebuah tatapan terpesona.
“Gini lho anak muda. Pak Dhe itu peduli karena kalian langganan di angkringan ini. Kalau Pak Dheboleh kasih nasihat, mbok yo kalian itu yang guyub rukun. Pak Dhe sudah cukup muak dengan segala perdebatan di angkringan tercinta ini. Kemarin mbak-mbak itu berantem gara-gara lipstik, eh sekarang kalian berantem karena berita. Mau di bawa kemana negara ini.”
“Gini lho Pakde, kita ini hanya sedang mencari kebenaran. Saya nggak mau jagat maya ini direcoki dengan berita-berita palsu. Apalagi sampai sahabat saya Kampret ini juga ikut-ikutan percaya”, bela Cebong.
“Nah, ini Pakdhe. Cebong ini yang sudah terjangkit syndrom serius. Saya bilangin yang paling benar juga nggak mau percaya”, Kampret menimpali.
“Wess berhenti saling menyalahkan. Mencari kebenaran itu syaratnya satu, pakai akal sehat, bukannya pakai emosi. Kalau mau cari yang terbaik untuk kalian berdua ya dibicarakan dengan diskusi baik-baik jangan fanatik dan dikit-dikit menyerang lawan bicara. Kalau kalian ngaku sebagai umat Kanjeng Nabi, contohlah perilaku beliau. Dihujat balas dengan kebaikan. Di ludahi juga membalas dengan kebaikan. Di fitnah masih mau balas mendoakan yang baik-baik. Nah ini!Kita ini sudah gak punya kemampuan untuk mendoakan yang baik-baik. Kalau memang merasa orang lain tersesat, ya didoakan yang baik dong biar tidak tersesat, bukannya di sumpah-serapahi dan diajak musuhan. Apalagi kalian itu sahabat dekat.”
“Hehehe”, Kampret hanya sanggup tertawa yang ia usahakan semanis-manisnya. Satu kilogram ludah baru saja melalui kerongkongannya yang tiba-tiba kemarau.
“Gini pakdhe”, Cebong berbicara pelan-pelan sembari mengelus-elus pundak pemilik Angkringan. “Kami ini gak mau berdebat kok, sebenarnya pakdhe ini kurang sabar sepuluh detik saja.
“Halahhh… Pak Dhe sarankan kalian mulai belajar berfikiran positif dan mau mendoakan yang baik untuk saudara-saudara kalian. Kalian tahu sendiri Sos Med sudah jadi gudang sumpah serapah dan ajang mendoakan yang jelek-jelek. Minta kepada Tuhan ya yang baik-baik biar semuanya kembali adem ayem. Beda pendapat boleh, urusan meminta kepada Tuhan tetap harus yang sopan dan yang baik-baik”, Pakdhe memberikan ceramah sore itu. Memang sebelum membuka bisnis Angkringan, pak Dhe sempat mengikuti audisi Dai Centil di salah satu stasiun televisi swasta. Sayangnya pakdhe harus gugur di babak perempat final karena salah beli tiket kereta.
“Tuh Bong, niatku itu sebenarnya mulia. Ingin mengajak kamu kembali ke risalah kenabian. Ndakbaik kamu hanya ikut-ikutan pemerintah saja”, timpal Kampret.
“Jadi pemerintah pasti salah? Kan Pak Dhe sudah bilang kalau kita jangan cepat menuduh”, bela Cebong.
“Justru yang dimaksud Pak Dhe, kamu itu kudu mulai berfikir dengan akal sehat jangan cuma ikut-ikutan tak berdasar”, Kampret juga tak mau mengalah.
“Ini salah. Yang dimaksud Pak Dhe, kamu itu jangan dikit dikit menghujat pihak yang tidak kamu suka”, Cebong mulai maju ke arah Kampret.
“Kamu yang dikit-dikit fanatik pemerintah”, serang Kampret.
“Kamu itu yang dikit-dikit menghujat pemerintah. Saya doakan kuburanmu lapang.”, kali ini wajah Cebong mulai memerah.
“Jadi kamu mendoakan saya cepat mati ya, haa?! Saya doakan kamu khusnul khotimah. Sekarang juga.”, Kampret juga mulai kembali agresif sampai ludahnya meluncur kemana-mana bak kembang api penutupan Asian Games.
“Priiiiiiiiiiit“, pak Dhe meniup peluit panjang. Entah peluit itu Pak Dhe ghosob dari mana. “Pilihannya cuma ada dua. Kalau kalian nggak diam dan segera larisin dagangan saya, mending kalian pergi jauh-jauh sekarang juga. Silahkan kalian berdebat di Afrika!”, pak Dhe yang dari awal berusaha bijak kini mulai terpancing emosinya.
“Iya iya sabar-sabar pakdhe. Pakdhe sendiri yang bilang kita jangan gampang emosi”, kata Kampret yang berubah cengar-cengir setelah digertak.
“Betul Pak Dhe, ini juga kita sebenarnya sudah mau pesen kok. Kalau begitu tolong saya dibakarin sayap tiga pakdhe. Jangan pedes-pedes.”
“Nah!!! Gitu.”, pengalaman diklat menjadi Dai Televisi itu cukup berguna untuk menurunkan emosinya dengan cepat. Pak dhe sudah di ajari bagaimana caranya merubah mimik wajah dan emosi dalam kecepetan cahaya. “Kalau Minumnya?”, tanya Pakdhe.
“Minumnya delapan gelas air putih ya Pakdhe!”, ujar Cebong mantap.
Eh-lo?!