lampu sein

Lampu Sein, Betapa Tekhnologi Tidak Mampu Menyelamatkan Umat Manusia

Lampu sein adalah alarm paling jelas betapa tekhnologi tak pernah mampu ‘tuntas’ menyelesaikan problem umat manusia. Setidaknya itu yang dipikir Bedjo pagi ini ketika ia hampir saja dicelakakan oleh tekhnologi bernama ‘lampu sein’. Tampaknya tulisan-tulisan di bokong truk yang menggunjing kaum ibu-ibu itu bukan isapan jempol belaka. Bedjo nyaris menjadi bukti hidup dan bukti matinya. Betapa tidak, ditengah dateline menulis artikel untuk surat kabar ‘Purworejo Undercover’, ya, ia mesti kejar-kejaran dengan waktu karena redakturnya yang super killer mesti menggaji tak seberapa; dan tetiba ia dikagetkan oleh seorang ibu-ibu yang tidak tahu betul bagaimana menggunakan lampu sein. Sein-nya ke kiri, tapi gerakannya memotong ke kanan. Persis gerakan Lionel Messi yang mengecoh bek-bek di La Liga dan menyebabkan mereka tergelincir di rumput lapangan. Messi jelas melakukannya dengan indah dan dapat bayaran gede untuk itu, tapi masalahnya ini bukan stadion Camp Nou. Ini jalan raya yang bisa dengan mudah dan kapan saja merenggut nyawa seseorang. Setidaknya tahun lalu, 107.000 orang meninggal akibat kecelakaan di jalan raya. Data ini bahkan menyamai jumlah korban Covid-19 terbesar di dunia, di negara adidaya Amerika Serikat yang tak berdaya akibat Covid-19.

Umpatan kasar sudah sampai ke kerongkongan Bedjo, ‘Uh, dasar mak-emak’, tapi beberapa detik kemudian ia teringat bahwa ia baru saja merampungkan puasa satu bulan penuh dan melewati hari raya Idul Fitri. Jiwanya masih fitri dan masih kinyis-kinyis, tak baik mengumpat kasar-kasar, apalagi pada kaum ibu kita sendiri. Lagian, Emak-emak itu tak mungkin lagi mendengarkan. Tanpa rasa bersalah sama sekali ia telah menghilang di ujung jalanan.

Masih deg-degan, Bedjo menyenderkan kepala di antara Pohon Trembesi di antara Alun-alun yang masih dipenuhi garis polisi. Memang tak ada kematian yang menyebabkan garis polisi itu dipasang di berbagai sudut, tapi ketidakjelasan Covid-19 ini sudah cukup melahirkan ketakutan di benak banyak orang. Di sisi lain, tekhnologi masih menjadi primadona akhir-akhir ini. Ia bak akik yang tiba-tiba ngetrend, dikejar dan dibayar mahal-mahal oleh semua orang. Corona memang mengubah banyak hal. Di Idul Fitri kemarin saja, Bedjo dipaksa sungkeman, salaman, dan menangis melalui video call. Bedjo berfikir, di seberang jauh sana dikampung, emaknya seperti menonton sinetron sedih di Indosiar ketika melihat wajah Bedjo yang bercucuran air mata.

Fyuht, kata siapa tekhnologi membuka lebar dunia kita, aku justru merasa sebaliknya”, gumam Bedjo.

“Kangenku tak cukup terobati hanya dengan layar sekecil handphone video call-an dengan dek Narti. Dengan layar sekecil itu bahkan aku tak bisa tahu kalau ternyata disebelahnya ada laki-laki lain. Tekhnologi Bangss…..”, lanjut Bedjo menggerutu namun tak menyelesaikan umpatannya.

Sekali lagi Bedjo merasa tekhnologi tak cukup menjadi jawaban atas semua persoalan yang dihadapinya, terlebih-lebih rindunya. Lampu sein itu, semestinya susah-susah ditemukan agar orang bisa memberi tanda yang benar kepada pengendara lain, bukannya sebaliknya. Rem mobilpun, jika hanya dimaknai sebagai tekhnologi belaka bisa begitu berbahaya. Orang butuh menggunakan otaknya untuk mengukur kedalaman rem dan menemukan momentum yang tepat. Oke, para ilmuwan bilang lampu sein kedepan bisa dibuat otomatis dengan memperhitungkan arah condong badan pengendara, atau rem, ia dibuat otomatis dengan memperhatikan jarak tertentu dari benda yang ada didepannya. Tapi ini tidak akan menyelesaikan masalah jika tiba-tiba mak-emak itu ketemu temannya di pinggir jalan dan secara spontan ia dada-dada dan tanpa sengaja salah mencondongkan badannya. Belum lagi kalau tiba-tiba tekhnologi itu rusak atau kehabisan batere di jalanan dan jadi ngaco. Bagi Bedjo, orisinilitas manusia itu sendiri yang menyebabkan ia bisa melakukan tindakan-tindakan cerdas dalam situasi darurat yang tidak biasa. Tekhnologi hanya berisi algoritma untuk situasi yang telah diperhitungkan. Hidup ini tak sesederhana hitung-hitungan itu.

“Dikit-dikit zoom dikit-dikit online. Kelihatannya sih keren, tapi pak Presiden mana tahu dibalik atasan jas mahal menterinya yang super rapi, ternyata ia hanya menggunakan kolor dan garuk sana-sini. Hahaha“, nyinyir Bedjo sambil tertawa.

Bedjo sih sadar, ini tak seratus persen salah tekhnologinya. Jelas bukan. Sejak awal ia tak dendam kepada lampu seinnya. Ia hanya kesal pada mereka yang menggunakan atau bahkan mendewakan tekhnologi tanpa bisa menggunakannya. Selepas corona ini, bisa jadi itu makin berbahaya kalau SDM nya sendiri tak mau beranjak.

Bahkan handphone di tangan orang yang berbeda pun menghasilkan hal yang berbeda. Handphone di tangan si A bisa digunakan untuk mencari informasi yang bermanfaat, dan di tangan si B bisa jadi hanya untuk main Mobile Legend. Padahal speknya sama. Atau di tangan si C, malah hanya digunakan untuk nonton bokep. Sungguh konyol, padahal bokep 3g jelas juaranya karena yang rahasia dan blawur akan tetap indah dan menegangkan selama masih blawur, kenapa beli handphone mahal-mahal untuk melakukan hal tak berguna.

Kecanggihan internet dan murahnya kuota juga menghasilkan sesuatu yang berbeda. Di tangan sebagian orang ia hanya menjadi sumber bacaan yang hampir semua-muanya di telan mentah-mentah. Baca berita ini, baca berita itu, seterusnya seperti itu menjadi konsumen berita berjubel yang sudah tak jelas kadar vitaminnya, bahkan hoax pemerintah sendiri. Menyajikan data pencitraan dan memoles sedemikian rupa segala pemberitaan untuk mendapatkan dukungan dari pada reader dan konsumen ini.

Tapi di tangan orang yang berbeda, internet bisa digunakan untuk menggali kebenaran bahkan menulis ide-ide dan kritikan yang membangun untuk pemerintah. Pada orang-orang produktif seperti ini, Bedjo berfikir ia menemukan titik kompromi dan titik maslahat hadirnya tekhnologi di tengah-tengah umat manusia.

“Kalau para pimpinan itu sekarang sok digital-digital, jangan buru-buru kagum. Pidatonya sih digital, tapi yang diucapkan bobotnya ya itu-itu aja dan tidak ngefek untuk kesejahteraan wong-cilik. Preeeeketek doang.”, tutup Bedjo sembari membenarkan lekukan di kemejanya karena tekhnologi di sakunya berdering-dering dan di layar terpampang nama redakturnya yang super galak.

“Hasuuuu-hasuuu”, akhirnya Bedjo mengumpat sembari meninggalkan pojok perenungannya.

Artikel, Citizen
, ,
Rekomendasi
Populer

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Fill out this field
Fill out this field
Please enter a valid email address.
You need to agree with the terms to proceed

Direktori