Tidak usah saya ceritakan lagi betapa legend-nya rumah yang kami tinggali. Rasanya tidak layak jikalau saya mesti menaukidi tulisan senior saya, mas Ahmad Naufa tetang semua hal-hal legendyang telah terjadi di rumah kami ini. Maka, saya lebih tertarik untuk bergeser beberapa meter dan mulai menulis deretan warung di dekat kontrakan kami. Sebuah warung es kelapa muda yang hidup rukun dengan warung kopi di sebelahnya. Meski Mas Nop, penulis gendeng yang menulis apa-saja yang lewat di depan matanya itu juga pernah mengisahkan warung ini, tetap saja saya patut berbangga. Sayalah yang diberi kesempatan oleh Tuhan, di dua pagi yang berbeda menyaksikan masing-masing warung itu hampir ambruk. Sayalah yang akhirnya berkontribusi penuh membantu berdirinya kembali kedua warung sederhana itu. Lagian, apa lagi yang lebih pantas di banggakan dan kemudian digembor-gemborkan ketimbang hal-hal kecil yang tanpa biaya dan tak perlu dipikirkan untung-rugi nya. Cekrek dikit pasti terkenal. Bukan begitu poro rawuh?
Salah satu dari kedua warung itu akhirnya dinobatkan sebagai ‘warung paling intelektual’. Bagaimana tidak? Di dinding kayunya terpampang banner bertuliskan ‘Gerobok Koranku – Menambah Wawasan dan Pengetahuan Anda’. Dan entah kenapa, pada akhirnya warung ini benar-benar menjadi satu majelis diskusi pagi yang diisi berbagai ahli di bidangnya masing-masing. Sebut saja Pak Dono, seorang pandit footbal yang sangat berani mengkritik strategi Joseph Guardiola. “Sepakbola itu pada akhirnya soal hasil. Jadi untuk urusan pelatih, saya tetap Mourinho.”, begitu kata beliau disambung satu-dua hingga rentetan alasan mengapa Mou, sebutan Mourinho lebih layak sebagai pelatih terbaik ketimbang Guardiola. Untuk urusan Mou ini, beliau sangat kawin dengan saya. Kalah menang kami ada di belakang Mourinho. Hebatnya, bukan hanya liga primer Inggris dengan Jamie Vardy-nya yang ia perhatikan, bahkan ia bisa sangat serius ketika membahas sepakbola lokal Purworejo. Menurutnya, pengembangan sepakbola usia dini harus jadi prioritas. Sayangnya, ada satu kebiasaan Pak Dono yang sangat meresahkan pemilik warung. Pak Dono biasa membuka-buka dan membaca semua judul koran yang ada di warung tersebut.
“Dia buka-buka Jawa Pos, KR hingga Suara Merdeka, tapi yang di beli Tribun! Kan lecek semua. Baca Koran kok Coba-coba!”, gerutu si pemilik warung.
Untuk urusan politik, dua penggemar fanatik Prabowo yang bahkan bercita-cita masuk Gerindra sangat vokal di warung ini. Nawa, seorang mahasiswa lokal mempunyai banyak alasan kenapa dia dukung Prabowo mati-matian. Pagi, siang dan sore punya waktu untuk berdebat, meski hanya untuk meyakinkan bahwa Sandiaga Uno punya peluang. Beberapa hari ini tawanya semakin menjadi-jadi begitu tahu pak Anies Baswedan yang bakal menjadi pasangannya. “Dengan bimbingan langsung pak Prabowo, saya yakin keduanya akan jadi pemimpin yang luar biasa”, ujarnya mantap sembari menatap langit-langit warung yang bocor sana-sini. Sinar matahari yang nylempit masuk lewat celah-celah atap memberikan kesan lighting yang menarik di obrolan pagi itu.
Pak Dono yang ngefans Ahok pun kadang nimbrung meski pengetahuan politiknya tak sedalam bola. Namun Nawa tidak sendirian. Jadilah Pak Dono terjepit jika pembahasan berpindah ke topik politik. Mr X, salah satu kader Gerindra jadi duet yang pas untuk mendongkrak elektabilitas Sandiaga Uno di warung itu. “Saya baru pulang dari Jakarta, rakyat inginkan Anies-Sandi”, ujar belio mantabbb.
Asal pak Prabowo yang jadi mentornya, klop sudah Mr X dan Nawa mengeroyok pak Dono. Jangan harap si pemilik warung akan bela Pak Dono yang kalah jumlah.
“Saya mah nggak punya hak pilih”, tanggap si pemilik warung dengan Diplomatis. Pro-Ahok atau Pro-Prabowo, kedua-duanya adalah pelanggan setianya. Atau, memang dendam kesumatnya kepada si pembaca-segala-merkkoran belum berhasil dipendam.
Di warung gerobok inilah setiap pagi para aktivis berkumpul untuk mengawali siang. “Kopi bagi pecandu seperti saya adalah pembuka waktu siang”, begitulah Asrul mengutip kata-kata Mahmoud Darwis. Berbagai diskusi menarik mulai dari sejarah Nusantara hingga kebijakan lingkup Kabupaten di ulik serius. Gosip-gosip dan isu-isu tokoh, baik nasional atau lokal begitu cepat menyebar. Tukang becak, tukang jahit keliling hingga tukang sapu jalanan bisa tiba-tiba berpendapat tentang kondisi sosial, politik dan ekonomi seperti layaknya pakar. Kakek-kakek pensiunan yang bosan dirumah hingga pejabat yang sekedar mampir setelah lari-lari pagi karena takut kolesterol pun ngumpul untuk mendapatkan informasi. Tidak ketinggalan para wartawan juga menjadikan warung ini tempat favorit untuk nge-cek berita yang masuk di koran. Siapa tahu tulisannya dimuat sehingga secara tradisi yang entah sejak kapan kami semua akan minta traktiran.
Agenda ngopi rutin yang melibatkan berbagai latar belakang manusia ini akhirnya menjadi semacam Majelis Diskusi yang sangat mengasyikkan. Tanpa janjian dan di organisir, orang-orang setiap pagi berkumpul di warung tersebut untuk saling tukar informasi. Dan yang paling menggelikan, si pemilik warung membiarkan rambutnya yang sudah seluruhnya beruban itu tumbuh acak-acakan. Kami semua kompak memanggilnya Mbah Einstein. Jadi, tidak ada alasan untuk menolak gerobok koran dengan majelis kopinya ini sebagai warung paling intelektual. Mbah Einstein kami ini, seperti juga Albert Einstein, telah menjadi simbol intelektual di lingkup nya masing-masing dan dengan caranya masing-masing. Heheheheuuuu