Dibalik laptop SNSA nya Bedjo masih terus memeras otak. Matanya berkunang-kunang membayangkan sorot mata redakturnya yang cerewet.
‘Dateline… Dateline’, begitu suara yang bergema-gema didalam kepalanya.
Saat-saat seperti ini sungguh membuat kepala ngilu. Sempat terfikir untuk meninggalkan meja kerjanya dan plesiran ke pantai Dewaruci, sekedar menikmati keindahan laut Purworejo. Namun Bedjo cepat-cepat sadar, kebutuhan hidup keluarganya tetap menjadi prioritas utama. Yang cukup menghiburnya, ia sangat mencintai pekerjaan yang sudah sejak kecil ia cita-citakan. Setidaknya, cita-citanya itu sudah berhasil ia gapai. Soal Tuhan tak kunjung mengabulkan cita-citanya yang lain untuk memiliki bos yang santuy dan mau menggaji besar, Bedjo memilih pasrah.
Pilkada serentak yang akan dilaksanakan awal Desember nanti menjadi salah satu pe-er yang diberikan redakturnya kepada Bedjo. Kemarin lusa ia telah menghadap untuk mempresentasikan beberapa topik namun tampaknya tak cukup memuaskan si Bos.
“Generasi Anti Money Politik.”, begitu buka Bedjo berapi-rapi. “Jangan terima uang sogokan yang tak seberapa, lima puluh ribumu yang kamu terima itu hanya seharga pemen perharinya.”, tambahnya penuh keyakinan.
“Jangan bodoh, Djo.”, sergah si Bos cepat-cepat. “Jadi kamu mau bilang ke masyarakat untuk tidak menerima sogokan seharga permen? Maksudmu mereka harus cari yang berani kasih ayam bakar? Hahaha.”
Bedjo mengernyitkan dahi. Padahal tadi ia senpat pede bukan main. Redakturnya yang nggapleki itu kadang ada benarnya juga.
“Kalau begitu tema yang kedua”, meski jarang mandi Bedjo termasuk orang yang memiliki banyak rencana. Ia sudah menyiapkan beberapa cadangan topik kalau-kalau si-Bos, seperti biasanya terlalu banyak permintaan.
“Bedah Tuntas Rekam Jejak Para Calon!”, papar Bedjo penuh keyakinan. “Ini pasti akan jadi headline yang hebat pak bos. Selain itu, artikel ini menjadikan surat kabar kita sebagai surat kabar yang mengemban amanah pembukaan undang-undang empat-lima, mencerdaskan kehidupan bangsa!”, tegas Bedjo antusias.
“Haduuuh. Apalagi yang mau digali, jangan ajak masyarakat berpikir yang ruwet-ruwet. Cuma menghabiskan kolom dan tidak akan dibaca. Masyarakat tidak punya waktu untuk berfikir yang rumit-rumit. Sudahlah, urusan kecerdasan itu biar menjadi urusan masing-masing.”
“Lalu?”
“Mosok saya harus mengajari? Coba kamu dekati saja salah satu calon, bikin berita yang bagus-bagus. Hidup di dunia mesti survive. Kadang-kadang kita harus bisa merangkap sebagai salesman.”
“Lho, baru kemarin pak Bos bilang kalau di kota kita ini bad news is good news. Pokoknya bikin berita yang buruk-buruk. Kecelakaan, kemalingan, pencurian, itu sudah pasti laku. Dan toh, statistik membuktikan halaman kita yang paling rame ya berita-berita seperti itu.”
“Nah justru itu, tinggal kita melihatnya dari sisi yang mana to, Djo?”
Benar juga. Harus diakui, redakturnya ini memang cukup cerdas. Usia tak bisa dibohongi. Orang-orang tua kita jauh lebih bisa berfikir praktis.
“Tapi kalau nggak ada bagus-bagusnya, mosok yo mau di tulis yang manis-manis?”
“Nah ini, ini contoh orang nggak pernah ngaji. Mau sebejat apapun orang, pasti ada baiknya. Kamu cukup konsen ke yang bagusnya itu. Jangan ke yang lain.”
“Kalau beneran gak ada bagus-bagusnya masak harus di paksain. Nanti….”
“Sudah… Sudah”, potong si Bos. “Kalau kamu kurang sreg anggap saja itu advertorial. Anggap saja seperti iklan panci, iklan kulkas, iklan-iklan yang lain. Iklan itu selalu manis-manis. Kalau ada yang ngerasa nggak manis ya pasti cuma pesaing bisnisnya”
“Dan pokoknya ingat kuat-kuat di kepalamu, Djo. Pesan bijak yang menempel di kaca bus kota: resiko ditanggung penumpang. Seperti sopir dan kernet bus, kita nggak punya waktu untuk mengkhawatiri kecerobohan dan keteledoran penumpang. Kalau ada yang merasa kecewa karena nggak ditepati janjinya, itu sudah bukan wilayah kita lagi”
Kepala Bedjo makin berkunang-kunang. Ia pikir pil-pilan itu mencerahkan. Saat kecil ia benci minum pil karena rasanya pahit. Tapi akhirnya ia sadar kalau dampaknya positif, yang semula sakit menjadi sehat. Pahit di awal, manis kemudian.
Tapi pil-pilan yang lima tahunan ini kok beda. Berdasar riset kecil-kecilan Bedjo, warga masyarakat selalu glendengan atau ngegosip kalau para wakil rakyat dan para pemimpin itu tak pernah menepati janji kampanyenya. “Awalnya manis, eh akhirnya pahit”, begitu gerutu salah satu tetangga Bedjo. Selain itu seringkali pil ini justru bikin orang yang waras jadi tidak waras, atau yang sudah tidak waras makin tidak waras. Uuuuuuh.
“Hustttt Djo, mikir apa kamu”, sergah pak Bos membuat temporal lobe di kepala Bedjo macet akibat silang sengkarut memikirkan kota tercintanya. “Pokoknya, kamu mesti ingat betul-betul pesan di bus kota itu, resiko di tanggung penumpang dan satu lagi, lebih baik kamu khawatirkan Dateline-mu!”