Beberapa saat yang lalu saya menemani istri untuk mengantar anak saya berobat. Seperti biasa setelah sampai di lokasi, kami berdua mengambil antrian dan kemudian menunggu giliran. Saat itu kami mendapatkan nomor antrian 12 dan butuh menunggu hampir dua jam lamanya. Setelah sampai ke antian nomor 10 istri saya cukup lega, tidak lama lagi kami akan mendapat giliran periksa. Teman-teman tentu tahu ya gimana rewelnya anak yang sedang sakit ketika harus anter berjam-jam. Tapi tiba-tiba ada seseorang yang menyerobot dan hendak langsung masuk ke ruang periksa. Istri saya sempat meminta penjelasan kenapa ia menyerobot, “Buk, saya sudah nunggu dari tadi lho“, kata istri saya.
“Lha ini nomer saya lebih awal mbak”, ia membela dengan menunjukkan antrian nomer tiga.
“Lha ibu ini kemana saja. Tadi ibu sudah dipanggil berkali-kali tidak ada, sekarang kok tiba-tiba datang dan menyerobot”, istri saya meminta penjelasan.
“Soalnya gini buk, saya tadi ambil antriannya dulu lalu saya pulang nunggu suami saya pulang kantor”, wanita itu masih tidak mau mengalah.
“Lho kok enak banget. Ini lho suami saya tadi juga harus ijin ke kantornya untuk bisa antri disini. Kita antri gak sebentar lho”,
“Sudah… sudah…”, sela saya waktu itu. Kemudian wanita itu dengan pe-de-nya lanjut menyerobot dan masuk ke ruang pemeriksaan. Beberapa ibu lain yang ikut mengantri juga terlihat sebel dengan orang tersebut.
Hal seperti ini sangat dilematis dan sering terjadi di sekitar kita. Saya bisa jadi benar karena memilih jalan damai, mengalah agar masalah tidak membesar. Bisa juga saya salah karena mengahalang-halangi istri saya menyampaikan kebenaran. Nah, kejadian itu langsung mencuat dari memori saya ketika saya menonton film Budi Pekerti. Keseluruhan film dipantik oleh masalah yang sangat sederhana yang dialami oleh Bu Prani (Ine Febriyanti) saat antri membeli kue putu di pasar. Pada saat mengantri itulah ada bapak-bapak yang titip membeli kue putu pada pemilik antrian di depannya. Bapak-bapak ini tidak punya nomer antrian sehingga ia memilih melakukan jalan pintas dengan titip membeli pada orang yang memiliki nomer antrian. Sebagai orang yang sangat idealis Bu Prani menegur orang tersebut karena mengaggap perilakunya tidak adil. Apalagi saat itu ia sudah antri cukup lama, menyempatkan diri sebelum menghadiri latihan senam. Perdebatan mengenai antrian itu di tutup dengan kemarahan Bu Prani yang meninggalkan lokasi sembari meneriakkan kalimat “Ah sui” (Ah, lama). Kejadian itu direkam salah satu pelanggan lain dan viral di media sosial. Sayangnya video yang viral itu hanya berisi potongan adegan beberapa detik sehingga tidak menunjukkan kejadian yang sesungguhnya dan lebih banyak menyuduktan Bu Prani. Dari pertikaian yang sepele itu akhirnya cerita ini berkembang ke dalam konflik yang lebih luas.
Kejadian viral di sosial media ini lantas memberikan efek domino yang luar biasa mulai dari ke anak-anak bu Prani, hingga ke lingkungan sekolah. Pada saat yang bersamaan Bu Prani sedang mengikuti seleksi menjadi Wakil Kepala Sekolah. Bu Prani sebenarnya cukup bisa meyakinkan pihak yayasan karena beliau termasuk guru legend yang sangat di sayangi murid-muridnya. Cara mengajarnya unik, out of the box, tapi sayang video viral itu menghambat keinginan bu Prani. Di lingkup keluarga efeknya juga tidak kalah problematik. Anak Bu Prani yang bernama Muklas (Angga Yunanda), sampe mengaku tidak mengenal ibunya karena malu. Ia adalah seorang influencer dan mendapatkan pertanyaan mengenai kejadian itu secara tiba-tiba saat sedang live. Kejadian beruntun ini menyebabkan hubungan bu Prani dengan orang-orang terdekatnya jadi naik turun.
Sepanjang film Bu Prani dihadapkan pada pilihan-pilihan yang sulit, antara memenuhi ego dan idealismenya bahwa ia merasa benar, tapi juga didesak keadaan bahwa sikap itu tidak bisa memberikan solusi cepat untuk membuat suasa kembali kondusif. Di beberapa sesi film, sikap Bu Prani tampak sudah benar dan seakan membuahkan hasil seperti yang diharapakan, Ternyata, dengan mudahnya keadaan berbalik dan kembali tidak menguntungkan.
Saya sendiri merasakan emosi yang luar biasa karena semua peran di dalam film ini terasa sangat membumi dan seperti manusia pada umumnya, jauh dari sempurna. Bu Prani guru legend dengan segala idealismenya, namun terkesan kurang bisa mendengarkan orang lain dan terburu-buru ingin menunjukkan yang benar adalah benar. Muklas, seoarang influencer yang mandiri di tengah perekeonomian keluarganya yang pas-pasan, tapi di beberapa kesempatan terlihat egois ingin menyelamatkan karirnya di dunia influencer. Namun, jika kita di posisinya, mungkin kita juga akan pertahankan karir ini mati-matian ditengah hidup yang tidak ada kepastian. Sang Kepala Sekolah yang menekan Bu Prani untuk mengalah demi keberlangsungan sekolah, tapi saya melihat sikapnya masih cukup wajar dan sangat jauh dari jahat, karena ia hanya berusaha mempertahankan sekolah sebaik-baiknya.
Untuk endingnya sendiri benar-benar di luar bayangan saya. Adegan saat Tita (Prilly Latuconsina) anak sulung Bu Prani membeli satu plastik bakso kemudian ia menyuapi adiknya, ayahnya dan ibunya secara bergantian memberikan kesan yang sangat mendalam. Lalu apakah film ini memiliki ending yang bahagia atau tidak? Yuk buruan nonton…. recommended polll.
Terima kasih untuk Wregas Bhanuteja atas filmnya yang sangat menginspirasi.