Sebelum lanjut ke sesi tanya jawab ini, sebaiknya Anda membaca dulu: Melawan Hegemoni Digital – Part 1. Tulisan ini adalah arsip Dunia Santri Community hasil diskusi dengan saya pada tahun 2018 yang lalu. Setelah pemaparan singkat dalam forum, berikut beberapa pertanyaan dari hadirin sekaligus jawaban dari saya. Semoga bermanfaat.
Menarik analisanya, santripun ikut menikmati, terbukti banyak bahtsul masail dan fatwa dalam merespon era digital. Sederhananya, menurut anda, seberapa kuat santri mampu merespon? Akankah santri akan kalah? Sebab beberapa hasil creativitas digital belum terbahtsul masailkan sudah muncul model baru lagi yang membingungkan.
- Yang perlu digaris bawahi dari diskusi ini saya ingin menyampaikan bahwa dunia digital adalah sebuah alat dan cara, bukan substansi kehidupan kita sebagai seorang manusia. Maka, sebelum di tarik ke dalam kehidupan digital, kita perlu lebih dahulu melakukan analisa peran santri di kehidupan ini secara mendasar. Misal, santri adalah seseorang yang mempelajari ‘ilmu agama’ dan menyebarkannya di tengah-tengah masyarakat dengan karakter santri. Maka kelebihan-kelebihan dan karakter santri ini lah yang lebih dahulu harus digali maksimal untuk kemudian dituangkan di dunia digital. Sedangkan kelemahannya adalah bahwa santri ketinggalan dalam memulai dunia digital. Maka tantangannya yang pertama adalah dalam mengambil posisi santri secara substansial di dunia digital.
Biasanya di setiap negara pasti ada propaganda yang memang sengaja dibangun Negara. Hegemoni digital ini sama kah dengan hegemoni media konteksnya?
- Media dan digital adalah cara, sementara lebih khsus hegemoni digital bisa diartikan sebagai sebuah kepemimpinan oleh dunia digital. Dalam arti lain dunia digital menguasai kehidupan kita. Dalam teori hegemoni, transfer moral dan intelektual telah mengakar sehingga seakan-akan kita benar-benar harus tunduk dengan segala yang digital. Yang tidak digital pasti akan miskin, pasti terbelakang dan pasti tidak akan mendapat teman. Padahal nyatanya kan tidak. Di banyak hal, dunia digital justru menyumbang ‘keterbelakangan’ pada manusia. Misalnya saja soal etika.
Apa iya ‘serba digital ini’ benar-benar menguasai diri? Bukankah semacam simbiosis mutualisme. Produk digital juga dibuat manusia karena melihat kebutuhan manusia dan teknologi yang semakin berkembang? Sejauh ini apakah kata “hegemoni” ini menjadi sangat negatif?
- Hegemoni bisa diartikan kekuatan memimpin. Maka perlu kita tanyakan kembali, apakah manfaat yang kita terima itu sementara atau dalam jangka panjang? Ya, dilematis tentu. Pendudukan Belanda pun masih meninggalkan infrastruktur, maka sudah pasti pendudukan Google hari ini, misalnya, juga akan meninggalkan hal yang berharga. Ya bisa kita katakan sebagai infrastruktur digital. Coding, program, sistem OS. Semuanya adalah peninggalan infrastruktur digital yang berharga. Maka akan cocok jika kita melihat Marx (Merujuk pada Karl Marx-red), yang membagi lingkup kehidupan manusia menjadi infra dan superstruktur. Superstruktur ini terdiri dari tatanan institusional dan kesadaran kolektif. Maka kemajuan yang sangat pesat di bidang infrastruktur itu hanya akan menjadi bom waktu yang berbahaya tanpa elemen yang lain. Pernah bertanya dalam hati, kita bangun follower mati matian, kita dapatkan pengikut, kemudian ketika kita naik daun instagram diakuisisi dan dilenyapkan. Tatanan institusional bisa katakan pemerintah, dimana peran pemerintah dalam melindungi warganya di dunia digital. Pada kasus youtube, masyarakat digital kita bekerja secara langsung pada youtube, dimana posisi pemerintah?. Apakah pemerintah bisa melindungi para pekerja kreatif yang tiba-tiba dipecat oleh Google?
Langkah kongkrit yang harus dilakukan saat ini kira-kira apa untuk menghdapi hegemoni itu? Melawan? Memanfaatkan? Atau bagaimana? Sedangkan orang desa selama ini ya sebagai pengguna bukan creator.
- Creator pun dimulai dari creator akun, paling tidak selama kamu memiliki akun kamu memiliki kemampuan menggerakkan juga. Apresiasi untuk AIS yang mampu menjadi motor kreator akun santri yang sebegitu banyak, maka ada gerakan gerakan massa digital yang bisa dipersatukan.
Iya, tapi kan setelah creator akun kebanyakan jadi pengguna tidak mengembangkan ke ranah lain. Penyatuan digital yang seperti apa ini? penyatuan virtual space itu sama seperti penyatuan negara?
- Iyaa ini yang mesti didorong dalam piramid masyarakat digital kita untuk terus tertantang naik. Dan bagi saya karena digital ini hanyalah alat, maka kemapanan bisnis misalnya secara offline menjadi pekerjaan rumah yang tidak kalah serius. Ini langkah agar kita tidak terjajah alatnya. Kalau secara offline kuat, kita lebih memiliki kekuatan. Sebab, kelebihan atau daya tawar itu ada pada bisnis kita sendiri, bukan pada alatnya.
Bentuk dorongan seperti apa? Edukasi sperti apa? Jangan-jangan hanya elit akademisi yang paham. Sedangkan diluar sana banyak orang yang hanya paham bagaimana cara survive hidup dan mencari uang.
- Edukasi yang mesti diberikan adalah edukasi mendasar akan kebutuhan kita sebagai manusia. Perlu ditekankan bahwa platform-platform ini hanyalah media. Poinnya jangan sampai seseorang melihat dunia digital akan menyelesaikan segala masalahnya. Yang bisa menyelesaikan masalah adalah dirinya sendiri. Jika kesadaran ini sudah terbentuk, maka ia akan siap untuk masuk ke era digital dengan aman. Orang yang waras akan mampu menggunakan digital secara baik. Yang kadung tidak waras, akan banyak menjadi objek dan terjebak dalam pusaran digital itu. Maka, kita lakukan edukasi digital secara berjenjang. Semakin ia memahami dunia digital dengan utuh maka semakin besar pula manfaat yang akan diterimnya. Sebagai contoh untuk pencarian sederhana di google yang biasanya kita hanya menggunakan kata kata pendek atau short keyword, maka kita bisa memberikan trik utnuk menggunakan keyword keyword khusus .pdf .jpg .png atau site: untuk menampilkan situs tertentu, penggunaan * untuk kata kata yang lupa. Lalu, untuk menggunakan facebook yang tadinya user dengan dikenalkan tehnik developer maka paling tidak ada kemungkinan dia mencoba developer itu. Kalau tidak di edukasi ya selamanya akan menjadi konsumen mungkin kita butuh susun kurikulum untuk kelas digital. Kalau membicarakan materi digital tentu akan banyak sekali yang bisa dipelajari.
Urgensinya seperti apa untuk mengetahui seluk beluk kehidupan digital itu?
- Saya jadi bayangkan bahwa ada perjanjian zaragoza baru, jika dulu dunia dibelah oleh spanyol dan portugis, maka sekarang kita sedang dibelah oleh AS dan Cina, khususon dalam konteks dunia digital. China mungkin satu-satunya bangsa yang sukses melawan belitan ular digital. Google boleh menguasai dimana mana tapi tetap di china kalah sama baidu produk lokal mereka. Sedangkan kita Aplikasi telegram di tutup sudah kebingungan apalagi whatsapp. COba bayangkan bagaimana stress nya kita jika tiba-tiba Google jadi berbayar, atau justru ditutup.
Secara kongkritnya, pekerjaan apa yang bisa dilakukan santri?
- Pr bagi santri adalah mengenalkan nilai kesantrian ke dunia luar bukan ke dalam, artinya harus ada revolusi konten dari sebatas share pengalaman pengalaman di pondok. Bagi kita istilah roan, tiqror dan lain-lain sangat menarik tapi apakah ini yang dibutuhkan dunia digital saat ini? Sebab itu, santri harus bisa mengkonversi istilah-istilah itu kepada istilah yang lebih dicari oleh masyarakat. Mempopulerkan dunia kesantrian. Kita harus menjadi pemasok informasi, bukan sekdedar penikmat informasi yang secara sanad nya tidak jelas, dan… tujuannya pun belum tentu bertangung
- Kita harus mulai membudayakan gerakan yang terstruktur, seperti halnya mengembakan metodologi riset dan data yang berdaulat. Dari kita, diolah kita dan untuk kepentingan kita. Dalam dunia digital, pertarungan utama adalag pertarungan data, selama kita menggunakan data yang disediakan oleh asing maka selama itu kita berada pada kasta terbawah masyarakar digital.
Lalu gimana caranya agar santri benar-santri diterima di masyarakat. Lebih dari diterima, tapi dianggap sama kedudukannya dan gaya hidupnya diakui?
- Membicarakan dunia digital, agar ide-ide santri bisa diterima di tengah masyarakat, maka santri:
(1) harus di bekali kemampuan membaca masyarakat dengan baik, dalam hal ini bisa memanfaatkan alat pembaca keyword seperti google trend dan sebagainya; karena kita belum memiliki alatnya sendiri. Catatannya adalah tetap kritis dengan data yang disediakan google, tidak boleh asal percaya. Pola kritis ini bisa dengan cara membandingkan hal-hal yang populer dalam dunia offline. Melakukan komparasi dan membuat kesimpulan. Sebuah langkah menuju data berdaulat. Singkatnya pada tahap awal kita harus bisa memetakan dunia digital itu, informasi-informasi yang benar, yang hoax, siapa pembuatnya dan seterusnya.
(2) Santri harus bisa menggunakan bahasa yang dimengerti dan diinginkan masyarakat digital. Sepintar pintar nahwu dalam masyarakat kita akan gunakan bahasa masyarakat. Maka seasyik-asyik kita dengan dunia santri kita, untuk menyuguhkan konten harus difikirkan betul kesenangan masyarakat digital.
Beberapa kesimpulan yang didapat:
(1) Dalam piramida digital secara sederhana kita bisa membaginya menjadi kasta-kasta mulai dari penyedia informasi, pengolah informasi, konsumen informasi hingga yang hanya taqlid informasi. Coba bayangkan, hari ini ada seorang yang bisa berpenghasilan 15 juta dalam sebulan dari youtube. Tapi dengan satu klik block dari Google ia miskin tiba tiba dalam hitungan jam, tanpa melalui sistem pemerintah, dan sebagainya. Langsung youtube dengan adsenser, bukankah ini lebih berbahaya dalam merusak kedaulatan negara kita?
(2) Dalam perkembangan tekhnologi selalu diikuti creative destruction, yang kata kuncinya adalah terus menerus menghancurkan yang lama dan terus menerus menciptakan yang baru. Justru semboyan NU bagi saya adalah langkah dasar yang sangat kuat dalam rangka memotong salah satu kaki creative destruction. Sebab itu kita selalu berada pada zona nyaman, tengah tengah di satu titik kader santri berhasil melakukan inovasi atau bahkan penemuan, maka kita akan jadi terdepan.
(3) Mindset nya perlu dirubah sejak dini di kalangan pesantren, bukan saya tidak setuju dengan jargon itu, tapi yang terlalu fanatik pada akhirnya tidak berinovasi. Tapi memang masalahnya santri NU terlalu tawadhu. Setuju, grup ini saya kira adalah satu langkah menuju inovasi dan tawadlu menurut gus hamid harus bisa lihat tempat dan sikon. Salah satu yang menyebabkan bangsa terjajah adalah rasa tidak percaya diri, tawadlu yang berlebihan dan tidak kenal tempat cenderung mengarah ke hal ini.
Bagaimana strategi perlawanan terhadap “Hegemoni Digital” karena hal tersebut merupakan sebuah keniscayaan?
Untuk melawan hegemoni ini saya suka menggunakan teori kontra-hegemoninya Moh. Hatta
(1) Pertama, kita harus melawan politik pecah-belah atau politik devide et impera. Tiada senjata yang lebih sempurna selain persatuan, begitu pesan KH Wahab Chasbulloh. Potensi santri yang sangat besar itu jika dipersatukan akan luar biasa. Jika hari ini ada upaya pembenturan antar pesantren, karena perbedaan pendapat yang di goreng misalnya, tentu harus dihindari. Perbedaan pendapat telah menjadi khasanah sekaligus kekuatan berfikir pesantren, maka kita mengenal bahtsul matsail. Selama ini kita telah mampu mengelolanya untuk kemaslahatan.
(2) Yang kedua, kaum pergerakan harus membebaskan rakyat Indonesia dari belenggu ketidaktahuan dan kesadaran palsu. Ketidaktahuan adalah sumber dari kesadaran palsu tersebut. Cara mendobraknya adalah dengan menggelorakan semangat belajar, di segala aspek kehidupan. Santri tidak boleh lagi hayna digiring untuk belajar ilmu agama, tapi juga belajar ilmu-ilmu yang lain, politik, tekhnologi dan lain sebagainya. Untuk menjadi subjek, bukan sekedar objek, santri harus memahami hak dan kewajibannya dalam kehidupan bernegara. Jika seperti itu, maka kesadaran yang dibangun adalah kesadaran dari dirinya sendiri untuk berperan sebaik mungkin dalam kehidup bermasyarakat dan bernegara, bukan kesadaran yang di-desain oleh orang lain.
(3) Belajar percaya diri, melawan penyakit inferiority. Kita harus memerangi penyakit rendah diri di hadapan bangsa lain atau inferiority complex. Warga Negara Indonesia harus dilatih untuk percaya pada kekuatan diri sendiri untuk ambil peran bermanfaat dalam dunia digital. Santri harus percaya diri untuk memasuki dunia digital, termasuk mengenalkan khasanah pesantren kepada dunia luar.
Berarti, langkah paling sederhana yang bisa kita ambil untuk terbebas dari jerat digital hegemony ini apa? Terus terang, saya termasuk google-addicted, dalam artian ada satu hal yang tidak saya tahu, saya pasti langsung googling. Maps pun begitu, semisal ada kegiatan yang mengharuskan saya keluar kota dan buta akan kota tersebut, saya tidak mungkin lepas dari google maps, karena pada kenyataannya, orang-orang disini kadang ditanya pun mereka tidak tahu.
- Karena permasalahan menyangkut kekuatan besar dunia tentu selalu menjadi permasalahan yang kompleks. Diluar dunia digital, kita pernah mengalami ketergantungan pada belanda dengan segala sistem dan fasilitasnya, padahal kita semua tahu kita menderita luar biasa, hanya diberi sekian persen kekayaan alam. Tapi di sisi lain belanda setelah pergi meninggalkan banyak ilmu dan juga infrastruktur. Seperti halnya di Google, harus diakui dulu bahwa hari ini kita telah dijajah. Adapun langkah paling sederhana menurut saya adalah dengan menaikkan kasta kita di dunia digital step by step yang tadinya hanya konsumen taqlid, kemudian meningkatan diri menjadi konsumen data kritis, kemudian ketingkat selanjutnya mulai dengan menjadi produsen atau penyaji konten. Jika tidak ada perubahan kecil maka hanya akan timbul keresahan semisal konten islam dikuasai minhum. Dalam hal yang lebih besar padahal semua konten baik ekonomi politik dan lain sebagainya di atur Google. Cara terbaik adalah tetap mengambil manfaatnya dengan berusaha meningkatkan posisi kita dalam piramid digital step by step.
- Maka dari itu, salah satu ikhtiar lemah kita adalah dengan selalu mengomparasikan data digital dengan nilai yang kita dapatkan secara offline dari lingkungan, bukan menjadi konsumen informsi digital taqlid. Maka kita sudah naik ke satu tingkat.
Saya setuju, tapi perkembangan dan kebutuhan sangat cepat memaksa menjadi penikmat. Ya itulah hegemoni digital yang pada sisi yang lain harus di syukuri.
- Penikmat inilah yang dalam teori hegemoni diartikan sebagai ketidaksadaran diri untuk melakukan sesuatu. Tanpa disadari kita tidak berdaulat dengan pikiran kita.
- Dalam urusan digital hal yang sangat sederhana, misal kita tidak lapar lalu muncul iklan, anda ada sekitar rumah makan A, sedang promo dan sebagainya. Dikirim via sms atau android Hasilnya? Terpengaruhkan sedikit- sedikit. Semakin tidak dikontrol kebutuhan kita maka mesin yang akan memilihkan kebutuhan kebutuhan kita. Bahkan mesin yang akan mengatur apa yang kita inginkan dan yang tidak kita inginkan, lebih jauh mesin yang akan mendikte kebutuhan kita.
Membaca sampai pertengahan saya teringat film the imitation game menurut anda itu fiksi atau berdasar kisah nyata? Dulu belum ada google sehingga memecahkan kode harus membuat mesin pemecah enigma dengan perhitungan sedemikian rumit namun setelah Perang Dunia semua ditiadakan.
- Kadang saya berfikir, apakah penulis naskah film yang mampu memprediksi masa depan sehingga tekhnologi di film itu terbukti di pakai masa depan Atau, karena melihat film itu manusia jadi terinsipirasi untuk membuktikan mampu menciptakan alat alat seperti film. Tentu sangat berbeda kan? Apalagi saya yakin juga bahwa tekhnologi yang kita pegang sebenarnya adalah tekhnologi usang dan ‘sisa’ militer atau inteligen. Artinya tekhnologi yang kita pegang sudah 10 tahun lebih dulu dipakai mereka, sedang untuk konsumsi publik di keluarkan berkala. Flashdisk 2gb, ke 4gb ke 8gb ke 1 teraa. Kalau membaca dari buku buku KGB, FBI bahkan tekhnologi penyadapan, pengolah data, pemindai wajah, AI, telah puluhan tahun lalu digunakan. Dalam hal yang nyata pemindahan bom nagasaki hirosima tentu telah menggunakan tekhnologi semacam google maps yang canggih. Pemindahan materi seperti bom tentu diawali dengan pemindahan data yang meliputi, pengambilan data, pengolahan dan analisa hingga menciptakan data yang baru dalam bentuk program program peluncuran.
PENUTUP
Melawan hegemoni digital bukan berarti kita berlepas diri secara total dari dunia digital, Kunci kontra hegemoni adalah:
(1) Persatuan, jangan mudah dipecah belah
Dalam menanamkan pengaruhnya kekuatan besar cenderung akan memecah belah kekuatan kekuatan menjadi kekuatan yang lebih kecil. Pekerjaan rumah pertama kita tentu adalah mengampanyekan persatuan melalui digital. Saya membayangkan jika dulu ada masa aksi, sudah seharusnya kini ada massa aksi digital. Bukan lagi dengan poster dan keringat memenuhi jalanan, tapi dengan sebaran hashtag yang kompak untuk memenuhi lini masa. Ini semua membutuhkan kemampuan digital yang baik.
(2) Lepas dari belenggu ketidak tahuan, jangan hanya menggunakan produk produk tanpa belajar manfaat maksimalnya
Masyarakat harus di lepaskan dari ketidak tahuan dan kesadaran palsu. Artinya pelatihan pelatihan digital sampai yang paling expert harus mulai disediakan untuk masyarakat kita agar tidak selalu menjadi penghuni terbawah dari piramida informasi atau piramida digital. Dengan melakukan edukasi digital berkesinambungan. Buta digital, di masa lampau bisa kita artikan sebagai kasus buta aksara misalnya. Cita cita anak sd dengan anak sma beda kan? Maka pengetahuan digital yang meningkat akan mengubah penyikapannya juga. Selama ini kita baru menyentuh pengenalan dunia digital dengan fakta faktanya. Padahal penting bagi kita agar tidak tenggelam, kita mengetahui betul bagaimana dunia digital bekerja, bagaimana sistem digital bekerja, bagaimana algoritma. Tidak harus untuk semua orang, selalu ada seleksi, tapi pastikan untuk belajar digital kita juga punya program wajib belajar 9 tingkat.
(3) Percaya diri untuk berkontribusi, atau akan tenggelam
(4) Memahami posisi kita dalam piramid digital, paham siapa penjajah dan yang dijajah siapa kawan dan lawan
Karena Dunia digital hanyalah alat dan cara, sementara pertentangan dalam kehidupan adalah soal nilai dan kepentingan. Santri harus belajar maksimal dan percaya diri untuk berbagi.