agus bastian

Mendaulat Pak Bastian Sebagai Bapak Pembangunan

Belakangan, banyak sekali kritik, umpatan atau kadang lebih mengarah kepada hujatan kepada pemimpin-pemimpin kita. Siapapun. Mulai dari presiden, gubernur, bupati hingga ketua RT tak luput dari sasaran empuk kaum-kaum nyinyir.

Barisan kritikus ini tentu bukan ujug-ujug datang gerudugan. Motifnya pun juga tidak tunggal. Ada yang menjadikan ruang kritik ini sebagai panggung menegakkan eksistensi dirinya. Eksistensi nampaknya mulai menjadi kebutuhan primer manusia jenis tertentu. Dan bertingkah kritis atau nyinyir adalah salah satu mekanismenya.

Ada pula yang memanfaatkannya sebagai mata pencaharian. Artinya kalau nggak ngeritik, nggerutu dan ngehujat, kebutuhan hariannya terancam tersendat. Siapakah korbannya? Pemerintah. Jadi pemerintah adalah korban?. Iya. Korban orang-orang berjargon pendapat harus selaras dengan pendapatan. Pendapatannya dari mana, pendapatnya akan disesuaikan. Bisa diatur. Pemerintah selalu jadi korban manusia jenis ini.

Namun, tidak sedikit pula kritik lahir dari kesadaran menegakkan idealisme pengritiknya. Populasi manusia jenis ini berangsur-angsur berkurang. Yang masih dominan adalah jenis gerutuan karena kepentingan dirinya atau kelompoknya tidak diakomodir bahkan terusik. Oleh siapa? tentu saja penguasa.

Fenomena seperti itu penulis rasakan kental terasa di Purworejo sejak beberapa bulan terakhir. Indikatornya adalah medsos. Jika ada postingan yang mengandung unsur Pemda, respon publik yang selalu ramai adalah nyinyiran hingga makian. Meski ada perlawanan dari netijen yang sebaris dengan Bupati, narasi pihak lawan kerapkali memenangkan debat kusir antar keduanya. Tak perlu berpikir panjang dengan analisa yang njlimet soal kenapa eskalasi kritikan kepada beliaunya semakin keras dan deras. Jawabannya adalah Pilkada. Itu jawaban saya. Anda boleh tidak setuju.

Apakah itu artinya nyinyir kepada semua hal yang berbau bupati itu mengandung motif politik untuk menjatuhkan elektabilitas beliau menjelang Pilkada yang tinggal beberapa bulan lagi? Bisa saja. Motifnya ada yang natural, ada yang karena idealisme bahkan ada yang pesanan. Ini masih menurut pendapat saya. Lagi-lagi, Anda boleh tidak setuju.

Maka, semestinya publik juga harus jeli membaca fenomena agar tidak mudah terbawa arus informasi yang belum jelas ujung pangkalnya. Menjadi publik yang cerdas memang tidak mudah dan goblok itu gratis. Tapi mbok yao jangan diborong sendiri. Pesan ini secara untuk keduanya. Jangan membabibuta nyinyirin pemerintah dengan berasaskan madzhab pokoknya pemerintah salah. Pun jangan membabibuta membelanya dengan mengikuti aliran pokoknya pemerintah selalu benar.

Lantas bagaimana pendapat saya kepada pemimpin Purworejo yang jabatannya akan selesai akhir tahun ini.

Melihat Pak Agus Bastian saya jadi ingat mendiang Jenderal Soeharto. Presiden ke-2 Republik Indonesia. Berkuasa selama 32 tahun. Lama sekali. Tegas dan berwibawa namun ada yang bilang kejam. Anti kritik. Kaya raya. KKN. Dan lain sebagainya. Tapi yakinlah, ingatan saya soal Pak Harto ketika melihat Pak Bastian bukan karena hal-hal negatif yang saya sebutkan tadi. Tapi soal pembangunan. Jika Pak Harto adalah Bapak Pembangunan Indonesia, Pak Bastian layak dijadikan sebagai Bapak Pembangunan Purworejo.

Mari kita lihat secara seksama. Apa saja hasil karya beliau. Alun-alun. Atas sentuhan beliau, Alun-alun Purworejo tidak hanya menjadi yang terbesar tapi juga terbaik dibandingkan dengan alun-alun lain di Indonesia yang pernah saya kunjungi. Yang ingin saya katakan adalah saya belum pernah melihat Alun-alun yang sebesar dan sebagus Purworejo di Indonesia. Atas sentuhan beliau, alun-alun kita tidak hanya sekedar besar, tapi juga indah. Karena saya yakin beliau paham bahwa besar saja belum cukup untuk dibanggakan.

Pasar Baledono. Di awal kepemimpinannya, Pasar Baledono yang rezim sebelumnya tidak mampu membangun berhasil di bangun berkat tangan dingin sang Bapak Pembangunan Purworejo. Dan lebih canggih. Bangunannya megah. Dari yang asalnya dua lantai, sekarang jadi tiga lantai. Belanja di Pasar Baledono sekarang sudah tidak lagi capek. Karena sudah ada eskalatornya. Keren kan. Tidak perlu khawatir kaki pegel karena harus naik turun tangga saat beli dawet di lantai 2 bro. Dan. Satu lagi. Kalau anda berkunjung ke Pasar Baledono tidak usah khawatir takut sumuk. Kepanasen. Karena apa?. Karena sepi. So, ndak perlu khawatir uyel-uyelan saat jalan-jalan belanja di dalamnya. Silir. hehe. Itu menurut pendapat saya. Setidaknya ini masih menjadi pe-er yang mesti diselesaikan dibalik bangunannya yang megah tersebut.

Dua bangunan itu adalah hasil nyata kerja keras beliau selama hampir lima tahun ini. Dan dua bangunan itu baru salah dua dari puluhan proyek infrastruktur yang berhasil beliau bangun. Sebut saja kawasan Jatimalang atau Pantai Dewaruci, Patung Pendowo, Patung Kresna Duta, Gedung Rumah Sakit, Gedung Ahmad Yani dan lain sebagainya. Belum lagi infrastruktur wisata yang proyeksinya untuk menunjang Romansa Purworejo 2020. eh, jadi inget. Gimana nih kabar Romansa 2020 man teman? Padahal saya terlanjur semangat dengan ide ini. Mungkin pemerintah perlu membicarakan ini di depan publik agar semangat warga seperti saya tetap terjaga.

Dan di tahun-tahun terakhir masa jabatannya ini, beliau tetap istiqomah. Istiqomah membangun. Pasar Brengkelan misalnya. Itu adalah karya dan dedikasi yang tidak bisa disanggah untuk dijadikan alasan kuat bahwa beliau layak dijadikan sebagai Bapak Pembangunan Purworejo. Itu pendapat saya. Anda tidak boleh setuju. eh maksudnya anda boleh tidak setuju.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Fill out this field
Fill out this field
Please enter a valid email address.
You need to agree with the terms to proceed

Rekomendasi
Populer This Month
Populer
Direktori