Baca sampai selesai agar kamu tidak menjadi tukang bully selanjutnya!
Wellcome to the jungle sobatku semua, hahaha itu ucapan pertama yang harus kalian pahami ketika masuk tahun ajaran baru di sekolah yang dikenal bar-bar yaitu SMK Teknik atau yang kita kenal dengan STM. Sekolah di STM memang membutuhkan kekuatan mental. Bagaimana tidak? Sebab kita harus melewati hari demi hari, semester demi semester yang sangat berat. Mulai dari membuat jobsheet praktikum yang bikin puyeng hingga praktek lapangan yang bikin kulit gosong. Belum lagi harus menerima konsekuensi sekolah di STM yang mayoritas memang dihuni cowok. Ceweknya bisa dihitung dengan jari, satu hingga tiga orang cewek saja perkelas, itupun kalau masih dianggap cewek.
Hal yang membudaya dikalangan kami, anak-anak STM
Tapi sebenarnya bukan kurikulumnya yang berat, namun menghadapi tingkah dan perilaku teman-teman yang mayoritas adalah laki-laki. Dahulu ketika saya bersekolah di STM, kasus perundungan atau kita kenal dengan bulliying merupakan hal yang membudaya dikalangan kami. Kalo kita lapor sama guru mana berani? Hari berikutnya pulang bisa bonyok-bonyok nih muka. Dilemanya anak STM dalam berteman, mau fokus belajar saja tapi tidak punya teman atau tidak ada geng, ya sudah pasti jadi korban bulli dan dihujat. Mau ikut-ikutan jadi gangster ya repot sendiri ikutan memar-memar setelah tawuran. Belum lagi kena poin dari sekolah, dihukum jalan jongkok, didenda dan banyak hal lain yang sama tidak mengenakkanya. Pilihan yang serba sulit. Kita punya motto solidarity forever padahal aslinya takut terasingkan dari teman gangster di sekolah. Ya memang sekeras itu bersekolah di STM, dan parahnya menjadi sesuatu yang membudaya.
Kabar terkini terkait dunia persilatan STM sungguh membahagiakan. Banyak sekali anak-anak yang masih bersekolah di STM ataupun setelah lulus berhasil menciptakan karya yang bermanfaat untuk masyarakat. Mulai dari perakitan mobil nasional yang melibatkan anak-anak STM, berbagai penghargaan yang diraih di tingkat nasional hingga di ranah lokal ada satu berita haru yakni adanya salah satu siswa yang membuatkan robot penceplok telur untuk membantu ibunya berdagang. Sungguh anak-anak STM yang keren.
Tapi entah kenapa budaya keras kehidupan STM sekarang malah menjalar kemana-mana, bahkan anak SD dan SMP yang seharusnya terhindar dari budaya tersebut malah menjadi lebih ganas. Kadangkala budaya bulliying dimulai dari hal-hal kecil, misalnya saja pada saat anak-anak saling ledek nama orang tua. Hal seperti ini jika dibiarkan akan semakin membudaya. Biasanya anak yang merasa lebih kuat, lebih keren, lebih banyak temannya cenderung menjadi pelaku bulliying jika kurang mendapat pendampingan dan asuhan dari lingkungan.
Kasus yang serius di dunia pendidikan
Apakah lingkungan faktor utama dalam menanamkan budaya bulliying? Tidak selalu begitu. Bisa jadi pelaku bulliying dirumah adem ayem aja, nurut sama orang tua, namun ketika kembali disekolah langsung deh, dikit-dikit jambak, dikit-dikit nendang, dikit-dikit ngomong jorok. Seperti kasus bulliying yang dilakukan anak SMP baru-baru ini yakni 3 anak cowok yang main tendang temen ceweknya. Bagaimana trauma dari siswi ini? Apakah masih bisa percaya sama temen laki-laki nih kedepannya?.
Bulliying sendiri atau tindakan seseorang untuk menyakiti orang lain bisa berbentuk verbal maupun non-verbal seperti pengeroyokan, intimidasi dan menghujat dengan kata-kata kasar. Kasus bulliying merupakan kasus yang sering terjadi di dunia pendidikan kita yang parahnya sudah membudaya atau dimulai dari saat masa orientasi siswa yang kerap dijadikan ajang unjuk gigi para senior. Dilanjutkan dengan unjuk kekuatan geng berdasarkan kelas sosial. Beuh parah kuy. Tentu saja kasus bulliying yang terjadi di Purworejo akhir-akhir ini menambah deretan kasus bulliying yang terjadi di negeri ini.
Tahun lalu KPAI atau Komisi Perlindungan Anak Indonesia mencatat bahwa anak korban kekerasan dan bulliying menyumbang 22,4 persen permasalahan di dunia pendidikan sementara pelaku bulliying bahkan menyentuh angka 25,5 persen. Bukan angka yang kecil untuk permasalahan dunia pendidikan kita. Pada era persaingan zaman yang sedemikian hebat, sudah seharusnya mereka yang bersekolah mengalami problem-problem tentang ‘bagaimana mereka berinovasi’, bukannya problem-problem kekerasan dan bulliying. Sudah saatnya anak-anak sekolah lebih bisa fokus untuk berprestasi dan mengharumkan nama bangsa dan negara.
Dari Lucinta Luna sampai Sulli
Di era sosial media sendiri kaus bulliying seakan menemukan alat yang paling efektif. Dunia sosial media mengenal istilah haters dimana aktifitas utamanya adalah menghujat dan melontarkan komen-komen negatif untuk menyerang orang tertentu. Pada kasus yang melibatkan sosial media bahkan dapat menyebabkan efek yang jauh lebih berbahaya karena tidak gampang dieteksi. Pelakunya menyerang di dalam kamar tertutup melalui gadget, korbannyapun demikian. Sehingga seringkali kasus-kasus depresi akibat bulliying di sosial media menjadi terlambat ditangani. Padahal anak korban bulliying cenderung tertutup dan tidak mempunyai keberanian dalam mengungkapkan kemarahannya. Gejala selanjutnya, korban menjadi pendiam dan sering melamun. Hal ini yang terjadi pada artis korea Sulli yang bunuh diri di apartemennya dikarenakan stres dibulli oleh haters. Begitupun kasus Lucinta Luna yang baru saja tertangkap menggunakan narkoba. Lucinta mengaku stres dibulli netizen.
Jika sobat-sobat semuanya menjadi korban Bulliying jangan coba untuk menutupi. Menceritakan kepada orang terdekat mengenai kegundahan kalian adalah pilihan yang lebih baik. Jika ditutupi itu akan menyebabkan gangguan mental seperti kasus-kasus yang pernah terjadi sebelumnya.
Peran guru, orang tua dan lingkungan
Kasus bulliying yang banyak terjadi di dunia pendidikan adalah fakta. Menghilangkannya membutuhkan aksi-aksi nyata.
Guru dan dunia pendidikan memang menjadi pihak yang memiliki pr utama agar kasus-kasus seperti ini tidak terjadi lagi. Namun, mengingat benih perilaku bulliying bisa didapatkan dimana saja, sudah sepatutnya orang tua dan lingkungan memikul tanggung jawab yang sama. Orang tua mesti lebih memperhatikan pergaulan anaknya, khususnya di jam-jam lepas sekolah. Pemerintah pun mesti ambil bagian menggelorakan semangat anti-bulliying dengan berbagai cara. Baliho-baliho pendidikan sudah semestinya menjadi sarana edukasi bukan sekedar sarana mencitrakan diri sendiri. Pun, begitu organisasi kepemudaan dari berbagai elemen harus lebih aktif menyinggung masalah-masalah sosial ke jantung-permasalahan. Hal ini bisa dikerjasamakan dengan pemerintah dalam bentuk sosialisasi maupun pendampingan langsung. Pendampingan, edukasi dan pendidikan karakter oleh berbagai elemen yang sudah disebutkan sebelumnya sangat penting diajarkan sejak dini di berbagai lingkungan pergaulan. Menciptakan lingkungan yang ramah bagi pelajar dalam bergaul tanpa memandang kasta sosial. Agar perilaku bulliying tidak membudaya didalam dunia pendidikan kita.
Yang paling akhir dan paling penting, kini saatnya kita move on seperti anak-anak STM yang mulai berganti budaya dari budaya bulliying ke budaya berinovasi. Jika masih ada kasus bulliying di sekitarmu jangan takut untuk bersuara. Saatnya kita bergotong royong untuk dunia pendidikan kita yang lebih sibuk berinovasi dan berprestasi. Cayooo! Tosss!
2 Comments. Leave new
Hahaaa…. Sek kelingan mung kalimat iki “Baliho-baliho pendidikan sudah semestinya menjadi sarana edukasi bukan sekedar sarana mencitrakan diri sendiri. “
bagus……